Pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita, sangat erat kaitannya dengan bahasa sebagai media utama. Bahkan penguasaan bahasa sangat menentukan keberhasilan jurnalis dalam menyajikan fakta dalam bentuk berita kepada khalayak. Semakin baik penguasaan bahasa seorang jurnalis, semakin besar pula kemungkinan berita itu sampai kepada khalayak dengan baik.
Dalam kenyataannya, hubungan antara jurnalis dengan para ahli bahasa tak selamanya mulus. Kendati patokan bahasa Indonesia dari waktu ke waktu senantiasa berubah-ubah, namun selama bertahun-tahun itu para pakar bahasa Indonesia memosisikan kalangan pers sebagai perusak tatanan.
Tengok saja hasil Konggeres Bahasa Indonesia I di Solo, 25-27 Juni 1938, yang dikutip Dr Hasan Aloi dalam makalah berjudul “Peran Media Massa: Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pembinaan Bahasa” yang disampaikannya dalam Simposium Nasional Ragam Bahasa Jurnalistik an Pengajaran Bahasa Indonesia di Semarang, 1996. Para peserta Kongres Bahasa Indonesia I menyatakan, “Setelah mendengar preadvies toean Adi Negoro, tentang ‘Bahasa Indonesia di dalam persoeratkabaran’, maka sepandjang pendapatan Konggeres, soedah waktoenja wartawan berdaja soepaja mentjari djalan-djalan oentoek memperbaiki bahasa di dalam persoeratkabaran. Karena itoe berharap soepaja Perdi bermoepakat tentang hal itoe dengan anggota-anggotanja dan komisi jang akan dibentuk oleh Bestuur Konggeres jang baru bersama-sama dengan Hoofbestuur Perdi.”
Baru pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan 28 Oktober-2 November 1954, dinyatakan, “Bahasa Indonesia di dalam Pers dan Radio tak dapat dianggap sebagai bahasa jang tak terpelihra baik. Bahasa Indonesia didalam Pers dan Radio adalah bahasa masjarakat umum jang langsung mengikuti pertumbuhan sebagai fungsi masjarakat. Pers dan Radio hendaknya sedapat mungkin berusaha memperhatikan tatabahasa jang resmi. Menganggap perlu supaja dianjurkan adanja kerdjasama jang lebih erat antar Pers dan Radio dengan Balai2 Bahasa.”
Dibandingkan jemawa para peserta Konggeres Bahasa Indonesia I, sikap peserta Kongres Bahasa Indonesia II terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam pers dan radio tampak melunak. Sikap lebih tahu diri para ahli bahasa terlihat lebih jelas jika disimak hasil-hasil Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta 28 Oktober-2 November 1993.
Disebutkan dalam hasil, hasil kongres itu antara lain:
1. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa perlu membina kerja sama yang luas dengan berbagai lembaga, terutama dengan perguruan tinggi dan media massa.
2. Untuk meningkatkan sikap positif dan menggalakkan penggunaan bahasa yang lebih cendekia, media cetak dianjurkan menyediakan rubrik bahasa sebagai sarana pembaca untuk berdialog mengenai bahasa.
3. Dalam memperkaya bahasa Indonesia, dunia pers telah menunjukkan kepeloporannya dalam menerima unsur serapan. Bagi perkembangan bahasa, hal itu sama sekali tidak merugikan. Namun, penggunaan bahasa dalam pers dianjurkan untuk menggali kekayaan bahasa dari bahasa serumpun dan bahasa daerah.
4. Selain penguasaan bahasa, minat terhadap sastra hendaknya menjadi bahan pertimbangan khusus dalam penerimaan calon wartawan.
5. Setiap media massa dianjurkan untuk mengangkat redaktur khusus bahasa agar pemantauan dan evaluasi atas bahasa yang dipergunakan dapat dilakukan secara lebih efektif.”
Sulit dipungkiri, media massa punya peran dominan dalam mengarahkan perkembangan bahasa masyarakat. Sikap para ahli bahasa yang belakangan memaklumi bahasa jurnalistik sebagai laras bahasa Indonesia tampak lebih bijaksana, mengingat wartawan atau jurnalis juga senantiasa mengasah kemampuan berbahasa mereka. Sebutlah misalnya, Sepuluh Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers yang dirumuskan dan disepakati setelah berulang kali diadakan Karya Latihan Wartawan (KLW).
Pedoman itu dikemukakan ketua asosiasi tunggal wartawan waktu itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Harmoko, dalam Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta, 1988. Sepuluh Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers itu adalah:
1. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Hal ini juga harus diperhatikan oleh para korektor, oleh karena kesalahan paling menonjol dalam suratkabar sekarang ini adalah kesalahan ejaan.
2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim.
Kalaupun ia harus menulis akronim maka satu kali dia harus menjelaskan tanda kurung kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami oleh khalayak ramai.
3. Wartawan hendaknya jangan menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefiks. Pemenggalan kata awalan me dapat dilakukan dalam kepala berita mengingat keterbatasan ruangan.
Akan tetapi pemenggalan jangan dipukulratakan sehingga merembet pula ke dalam tubuh berita.
4. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaraan pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan dan kata tujuan (subjek, predikat, objek).
Menulis dengan induk kalimat dan anak kalimat yang mengandung banyak kata, mudah membuat kalimat tidak dapat dipahami, lagi pula prinsip yang harus dipegang ialah “satu gagasan atau satu ide dalam satu kalimat”.
5. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata “sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, “dalam rangka”, “selanjutnya” dan lain-lain.
Dengan demikian dia menghilangkan monotoni (keadaan atau bunyi yang selalu sama saja) dan sekaligus dia menerapkan ekonomi kata dan penghematan dalam bahasa.
6. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti “adalah” (kata kerja kopula), “telah” (petunjuk masa lampau), “untuk” (sebagai terjemahan to dalam bahasa Inggris), “dari” (sebagai terjemahan of dalam hubungan milik), “bahwa” (sebagai kata sambung) dan bentu jamak yang tidak perlu diulang.
7. Wartawan hendaknya mendisplinkan pikirannya supaya jangan campur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me).
8. Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis dan ilmiah dalam berita.
Kalaupun terpaksa digunakan, satu kali harus dijelaskan pengertian atau maksudnya
9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin menaati kaidah tata bahasa.
10. Wartawan hendaknya mengingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek, yaitu isi, bahasa dan teknik persembahan.
Sejumlah referensi yang terbit belakangan, bahkan jelas menyebut bahasa Indonesia jurnalistik sebagai laras ataupun ragam bahasa Indonesia. Laras bahasa adalah kesesuaian di antara bahasa dan pemakaiannya, sedangkan ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan.
Definisi yang rumit, namun intinya adalah bahasa Indonesia jurnalistik telah diakui sebagai bahasa yang digunakan oleh kelompok profesi atau kegiatan dalam bidang tertentu. Dalam hal ini, yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran.
Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan jurnalis atau media massa untuk menyampaikan informasi. Sesuai fungsi media massa, yakni fungsi informasi (to inform), mediasi (to mediate), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain) dan kontrol sosial atau koreksi (to influence), bahasa jurnalistik senantiasa menyandang ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.
Sebagaimana dikemukakan Marshall McLuhan dalam Understanding Media, 1964, pemilik ataupun pengelola media selalu dengan sekuat tenaga memberikan apa yang diinginkan khalayak, karena mereka merasa bahwa kekuatan mereka berada pada mediumnya dan tidak pada pesan atau programnya. Keberpihakan yang pekat kepada khalayak itulah yang membuat media mempunyai tata bahasanya sendiri, yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Inilah yang membuat bahasa jurnalistik menjadi sedikit berbeda dengan bahasa Indonesia baku.
Karena penyajian berita yang senantiasa memenuhi unsur penting (significance), besar (magnitude), tepat waktu (timeliness), kedekatan (proximity), tenar (prominance) dan menyentuh rasa kemanusiaan (human interest), ragam bahasa jurnalistik pun senantiasa dipilih sesuai kebutuhan memberi informasi yang padat, singkat, jelas dan menarik. Namun sebagaimana dikatakan McLuhan, bahwa media mempunyai tata bahasanya sendiri, maka bahasa jurnalistik media cetak berbeda dengan bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Masing-masing berkembang sesuai karakteristik jenis medianya.
Bahasa jurnalistik media radio misalnya, karena beritanya dituntut menciptakan theater of mind di benak pendengar, harus cukup memberikan modal kepada pendengarnya untuk membayangkan fakta-fakta yang disiarkan. Dan karena besifat sekilas dengar, tentu harus lugas tanpa berpanjang kata karena harus menyesuaikan dengan kemampuan manusia menangkap penuturan penyiar.
Sedangkan bahasa jurnalistik media cetak, kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga perlu senantiasa mempertimbangkan keterbatasan space. Penghematan karakter huruf dan efektifitas penyampaian paparan menjadi kunci utamanya, kecuali demi menciptakan warna dalam karya jurnalistik tersebut.
Goenawan Mohamad dalam makalah Bahasa Indonesia Jurnalistik menguraikan “Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih efisien. Dengan efisien saya maksudkan lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor.”
GM lalu mengutarakan beberapa fasal yang diharapkannya bisa diterima dalam usaha efisiensi penulisan, yakni hemat, baik penghematan terkait unsur kata maupun kalimat. Ada pula rumusan lain dari Sumadiria yang menyebutkan 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media, yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika.
Sedangkan Rosihan Anwar menyebut bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik menurut dia memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, dalam kosa kata bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat.
JS Badudu yang menyebutnya sebagai bahasa surat kabar mensyaratkan ciri bahasa yang singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahasa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar.
Tak ada perbedaan mendasar dalam paparan pengertian bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik mengedepankan ekonomi kata dan kalimat namun harus mudah dimengerti oleh khalayak dan mengikuti kaidah tata bahasa yang berlaku. Karena berpihak kepada khalayak, maka bahasa jurnalistik yang dikembangkan media massa satu dengan yang lain mungkin saja berbeda. Media massa di Bali misalnya akan menghindari kata celak, kenyang dan butuh karena konotasi negatif akibat bahasa daerah setempat. Sementara itu, media massa di Jawa perlu senantiasa menghindari logika bahasa yang tak ekonomis akibat terjemahan langsung kata sing atau nek yang dianut bahasa daerah setempat.
Sebaliknya demi mengakrabkan diri dengan khalayak, bukan tak mungkin pula media massa di suatu daerah justru memilih diksi yang lebih familier bagi khalayak. Alih kode atau campur kode bisa dilakukan dengan menuliskan secara miring dengan disertai terjemahannya. Alih kode adalah penggunaan bahasa lain atau variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain atau karena adanya partisipan lain. Secangkan campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. [] Bison
Senin, 14 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar