Rabu, 02 September 2009
Berkenalan dengan jurnalistik
Kamus Besar Bahasa Indonesia memaknai ”jurnalistik” sebagai ”yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran”. Sedangkan ”jurnalisme” adalah ”pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita dalam surat kabar dan sebagainya, serta kewartawanan.” Sementara itu, Ensiklopedi Indonesia memaknai ”jurnalistik” sebagai ”bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.”
Sedangkan ensiklopedia elektronik Wikipedia mencatat ”jurnalisme” sebagai ”bidang disiplin dalam mengumpulkan, memastikan, melaporkan, dan menganalisis informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk tren, masalah dan tokoh.”
Berbagai referensi mengurai jurnalistik dalam sejumlah sudut pandang berbeda. Ada yang memaknainya secara harfiah berdasarkan akar kata “du jour” pada bahasa Yunani yang berarti ”catatan atau laporan harian.”
Ada pula yang menariknya dari kata ”jurnal” atau ”journal” yang berarti ”laporan” atau ”catatan,” serta kata ”jour” yang dalam bahasa Prancis yang berarti “hari”. Pandangan itu lalu dihubung-hubungkan dengan peraturan Julius Caesar pada zaman Romawi Kuno sekitar tahun 50 SM, agar kegiatan-kegiatan Senat diumumkan kepada khalayak setiap hari dengan cara ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna.
Dengan referensi itu, kegiatan jurnalistik memang terkesan sangat tua umurnya. Bahkan keberadaan Nusantara pun kali pertama dikabarkan kepada masyarakat luar wilayah ini pada masa protosejarah melalui kegiatan serupa oleh Pendeta I-Tsing pada abad ke-6 M. Langkah mirip dilakukan Mpu Prapanca pada tahun 1365 melalui Negara Kertagama, ini judul lontar yang mencatat kegiatan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, saat melakukan wisata ziarah ke peninggalan leluhurnya. Dalam lontar itu, disebutkan pula nama-nama daerah yang menjadi wilayah kekuasaan raja Majapahit.
Seperti halnya Acta Diurna-nya Julius Caesar yang semula harus didatangi pembaca namun belakangan diperbanyak dengan daun papirus dan distribusikan ke seantero wilayah jajahan Romawi, lontar Negara Kertagama juga mengalami mobilitas. Peneliti Belanda JLA Brandes kali pertama menemukan lontar Negara Kertagama itu di Puri Cakranegara Lombok, bukan di Jawa Timur yang diyakini para arkeolog dan sejarawan sebagai lokasi pusat Kerajaan Majapahit.
Lontar serupa selanjutnya juga ditemukan di sejumlah lokasi di Bali.
Meskipun Acta Diurna ataupun Negara Kertagama telah mengalami mobilitas demi mengabarkan kondisi pusat pemerintahan ke wilayah kerajaan bawahan, namun surat kabar tulis tangan yang kali pertama dicatat sejarah persuratkabaran adalah Gazzetta di Vanesia yang terbit sekitar tahun 1536.
Sedangkan jurnalisme modern sesuai definisi dalam kamus maupun ensiklopedia, berkait erat dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg tahun 1454.
Berdasarkan paparan di atas, pengertian jurnalistik modern ini dapat disimpulkan tak bisa dipisahkan dengan penulisan karya jurnalistik media cetak, kendati belakangan media komunikasi juga berwujud radio, televisi dan internet. Pun demikian dengan di Indonesia, awal mula kegiatan jurnalistik modern tak bisa dipisahkan dari penerbitan surat kabar yang dicetak secara massal.
Sedangkan perkembangan kegiatan jurnalistik modern di Indonesia diawali oleh Kolonialis Belanda pada 1744 dengan terbitnya Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen di Batavia. Sedangkan surat kabar bagi kalangan pribumi Mingguan Bromartani baru terbit 1854 di Solo. Sebagaimana wilayah lain dunia dan masa penjajahan sebelumnya, perkembangan jurnalistik setelah Republik Indonesia merdeka sangat dipengaruhi politik pemerintahan.
Pada awal Indonesia merdeka hingga Orde Baru, kebebasan jurnalistik menghadapi berbagai kekangan, sederet surat kabar dibredel, hingga akhirnya mendapatkan kebebasan saat gelombang semangat Reformasi menggelora. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis setelah Departemen Penerangan dibubarkan saat BJ Habibie berkuasa. UU Pokok Pers No 21/1982 diganti dengan UU Pokok Pers No 40/1999. Siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers.
Kebebasan pers ini awalnya disikapi sinis sebagian kalangan yang menganggap fenomena itu sebagai euforia demokrasi. Namun perkembangan teknologi belakangan justru membalik keadaan, aktivitas jurnalisme kini bahkan bisa terwujud di tangan para blogger sekalipun.
Tribuana Said dari Lembaga Pers dr Soetomo bahkan menganggap UU Pokok Pers No 40/1999 memerdekakan pers Indonesia yang telah terkekang 2,5 abad. Anggapan itu tak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa kegiatan jurnalistik di Indonesia memang sudah terkekang bahkan sejak Bataviasche Nouvelles terbit. Selanjutnya, izin menerbitkan media massa tak pernah gampang diperoleh bahkan aktivitas penerbitan pers selalu saja berseberangan dengan penguasa.
Maklum saja, pemikiran yang diterima masyarakat melalui tulisan —baik melalui buku ataupun surat kabar— senantiasa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini publik. Gagasan tertulis itu mampu menjadi motivator masyarakat untuk berbuat lebih baik, termasuk menyemangati masyarakat berjuang memerdekakan diri seperti yang dilakukan pers Indonesia pada masa penjajahan dan setiap fase perjuangan bangsa berikutnya.
Pengertian jurnalistik
Tatkala kegiatan jurnalistik berperan sebagai salah satu sendi kehidupan masyarakat, mulai muncullah kebutuhan untuk mempelajarinya. Untuk kali pertama, jurnalistik muncul dalam kehidupan akademis di Universitas Bazel Swiss pada tahun 1884 dengan nama Zeitungskunde yang lalu berubah menjadi Zeitungswissenchaft atau Ilmu Persuratkabaran.
Seiring perkembangan media komunikasi massa, seusai Perang Dunia II istilah Publisistik lebih populer di kalangan akademisi Eropa, sedangkan Jurnalisme mulai dikembangkan di Amerika Serikat mulai 1690. Dari waktu ke waktu selanjutnya, pemikiran para akademisi itupun lebih mendominasi kepercayaan masyarakat atas pengertian jurnalistik dibandingkan para praktisinya.
Secara konseptual, jurnalistik menurut Kamus Jurnalistik karya ASM Romli, setidaknya dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yakni sebagai proses, teknik dan ilmu. Sebagai proses, jurnalistik adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan atau jurnalis.
Sebagai teknik, jurnalistik adalah keahlian atau keterampilan menulis karya jurnalistik --baik itu berita, artikel opini ataupun advertorial-- termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti reportase atau peliputan peristiwa dan wawancara. Sedangkan sebagai ilmu, jurnalistik adalah bidang kajian mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa.
Jurnalistik termasuk ilmu terapan yang dinamis dan terus berkembang sesuai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebagai ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan.
Sementara itu jika dipandang secara praktis, jurnalistik adalah proses pembuatan informasi atau berita dan penyebarluasannya melalui media massa. Dari pengertian ini, jurnalistik memiliki empat komponen, yakni informasi, penyusunan informasi, penyebarluasan informasi dan media massa. Tak berbeda dengan definisi yang dirumuskan para ahli.
F Fraser Bond dalam An Introduction to Journalism
Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati.
Adinegoro
Jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya.
Onong Uchjana Effendy
Teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Perkembangan jurnalistik
Meskipun pada awalnya jurnalistik dimaknai sempit sebagai publikasi secara cetak, dewasa ini pengertian tersebut meluas. Karya jurnalistik tak sebatas dimuat media cetak seperti surat kabar, majalah, dan semacamnya, sebab jurnalistik juga meluas pada media elektronik seperti radio dan televisi. Bahkan, surat kabar, radio dan televisi, belakangan tersaingi pula dengan berkembangnya sistem world wide web pada teknologi komputer yang mempopulerkan media internet.
Namun pada akhirnya, surat kabar, radio, televisi dan Internet punya fungsi sendiri-sendiri dalam komunikasi massa. Sebagaimana disimpulkan W Philip Davinson, sosiolog Columbia University, radio mampu memberikan peringatan dini atau alarm kepada masyarakat sehingga cenderung menjadi media pertama yang menyampaikan apa yang terjadi.
Sedangkan televisi sebagai media audio visual tergolong sebagai media yang melibatkan emosi atau involving medium. Sementara itu, media cetak mampu menangani hal-hal yang kompleks dan menyajikan informasi secara lebih lengkap.
Dengan fungsi masing-masing itu, berbagai jenis media massa takkan saling mematikan. Dan kendati setiap jenis media massa menganut teknologi sendiri, namun pekerja jurnalistik pada umumnya tetap setia pada lima fungsi utama lembaga profesi mereka, yakni fungsi informasi (to inform), mediasi (to mediate), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain) dan kontrol sosial atau koreksi (to influence).
Di samping lima fungsi utama pers yang berlaku secara universal, ada pula lima karakteristik atau ciri-ciri spesifik pers yang juga senantiasa sama, yakni periodesitas, publisitas, aktualitas, universalitas, dan objektivitas. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar