Sabtu, 12 September 2009

Berkenalan dengan media massa

Keseharian manusia modern, sepertinya tak bisa lepas dari media massa. Dari waktu ke waktu, surat kabar, radio, televisi ataupun media online melalui international network (Internet) dan telepon seluler menemani manusia modern dalam setiap sendi kehidupannya. Dengan kata lain, setiap manusia modern semakin tak bisa lepas dari peran pekerja pers pengelola media massa itu.

Sesuai fungsi media massa, umumnya pekerja pers tetap setia pada lima fungsi utama lembaga profesi mereka, yakni fungsi informasi (to inform), mediasi (to mediate), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain) dan kontrol sosial atau koreksi (to influence).

Di samping lima fungsi utama pers yang berlaku secara universal, ada pula lima karakteristik atau ciri-ciri spesifik pers yang juga senantiasa sama, yakni periodesitas, publisitas, aktualitas, universalitas, dan objektivitas. Kendati memiliki fungsi dan karakteristik umum yang sama, namun dalam perkembangannya, pers diklasifikasikan dalam tiga tipologi, yakni pers berkualitas (quality newspaper), pers populer (popular newspaper) dan pers kuning (yellow newspaper).

Penerbitan pers berkualitas biasanya memilih cara penyajian yang etis, moralis, intelektual dan menghindari pola dan penyajian pemberitaan yang bersifat emosional frontal. Pers jenis ini sangat meyakini pendapat: kualitas dan kredibilitas media hanya bisa diraih melalui pendekatan profesionalisme secara total. Produknya ditujukan untuk masyarakat kelas menengah atas.

Sedangkan pers populer sangat menekankan nilai serta kepentingan komersial. Pers jenis ini lebih banyak dimaksudkan untuk memberikan informasi dan rekreasi (hiburan). Biasanya produk pers jenis ini adalah kalangan menengah-bawah. Sedangkan pers kuning mengeksploitasi warna tanpa terlalu setia pada kaidah baku jurnalistik, bahkan berita pers kuning tak selalu berpijak pada fakta dan bisa saja didasari ilusi, imajinasi, dan fantasi. Pers kuning yang kerap menggunakan pendekatan jurnalistik SCC (sex, conflict, crime) ini biasanya ditujukan bagi masyarakat pembaca kelas bawah.

Di samping bisa diurai berdasarkan kelas sosial konsumen masing-masing media massa, berdasarkan perkembangan pers itu para ahli dan praktisi jurnalistik ataupun periklanan lalu kerap membagi pula media massa berdasarkan wilayah edar.
Maka dikenallah media massa komunitas, media massa lokal, media massa regional, media massa nasional, dan media massa internasional.

Kategorisasi pers berdasarkan wilayah edar ini kerap tak jelas karena mengalami pasang surut seiring minat konsumen dan berbagai faktor lain, termasuk perkembangan teknologi dan terbukanya akses interaksi konsumen. Tengok saja banyaknya ”media massa” di jejaring internasional (international network/internet) yang sejatinya melaksanakan fungsi jurnalistik dan diakses publik di seantero planet Bumi.

Reaksi positif publik terhadap jurnalistik interaktif yang terwujud dalam bentuk forum-forum perbincangan di Internet bahkan belakangan ini menyeret media massa cetak yang relatif mapan melakukan perilaku serupa. SOLOPOS misalnya kini memperkenalkan rubrik Ruang Publik sebagai kelanjutan kesuksesan merintis rubrik Kriing SOLOPOS di Indonesia.

Citizen journalism pada community newspaper semacam yang dilakukan SOLOPOS itu diyakini bakal berkembang pada masa mendatang. Model ”jurnalistik” semacam ini erat kaitannya dengan prinsip proximity atau kedekatan dalam jurnalistik. Masyarakat cenderung tertarik mengikuti berita yang memiliki kedekatan dengan diri mereka. Buntutnya, media massa bakal diterbitkan dengan wilayah edar dan bahasan yang semakin sempit.

Wong Solo misalnya, tidak hanya butuh SOLOPOS yang menyajikan informasi aktual global maupun lokal secara general, tetapi juga perlu media pendamping lain. Sebagian kalangan mungkin butuh tambahan tabloid olahraga karena “gila” sepakbola, sebagian lainnya mungkin memilih tambahan majalah wanita sebagai panduan berperilaku, ada juga yang merasa butuh tambahan majalah terbitan organisasi profesi mereka agar tak tertinggal info perkembangan terakhir profesi itu.

Termasuk juga dalam hal ini, media komunikasi antarsiswa dalam suatu sekolah, ataupun media komunitas lain untuk kalangan pembaca yang terbatas. Dalam sejarah penerbitan pers di Indonesia, media massa jenis ini oleh Orde Baru dikelompokkan sebagai penerbitan khusus. Berbeda dengan penerbitan umum yang wajib dilengkapi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), penerbitan khusus pada masa Orde Baru cukup dilengkapi surat tanda terdaftar (STT).


Pengelola media massa pada umumnya terpilah dalam dua divisi, yakni redaksi dan usaha. Redaksi bertugas menyiapkan naskah sesuai kebutuhan pembaca. Divisi usaha bertanggung jawab terhadap berbagai aspek lain yang menjamin berlangsungnya operasional penerbitan, seperti distribusi atau sirkulasi dan penyediaan dana operasional penerbitan melalui penjualan space media untuk memuat iklan. Di divisi ini juga bernaung bidang-bidang pendukung operasional perusahaan seperti yang mengurusi sumber daya manusia, dukungan perlengkapan dan operasional kantor.

Divisi Usaha biasanya dipimpin seorang pemimpin perusahaan, sedangkan divisi redaksi dipimpin pemimpin redaksi. Keduanya bernaung di bawah seorang pemimpin umum. Dalam tugas keseharian mengatur berlangsungnya liputan, pemimpin redaksi yang bertanggung jawab atas muatan media massa biasanya dibantu redaktur pelaksana dan koordinator liputan serta sekretariat redaksi. Redaktur pelaksana biasanya membawahi sejumlah redaktur yang bertanggung jawab memilih tema dan menyunting naskah. Para redaktur itu biasanya membawahi sejumlah reporter yang mencari berita di lapangan.
[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar