Sabtu, 05 Desember 2009

Jurnalisme sastra

Literary journalism yang berkembang di Amerika Serikat (AS) sebagai genre baru jurnalisme seiring munculnya penganut new journalism, diterjemahkan secara berbeda oleh Septiawan Santana Kurnia dan Andreas Harsono. Klasifikasi genre baru jurnalistik baru itu yang dipicu terbitnya buku antologi berjudul The New Journalism berisi narasi-narasi khas sejumlah jurnalis Amerika Serikat (AS) yang dirangkai Tom Wolfe dan EW Johnson dan terbit pada tahun 1973
Septiawan menejemahkannya menjadi jurnalisme sastra, sedangkan Andreas menyebutnya sebagai jurnalisme sastrawi. Di luar perbedaan istilah itu, literary journalism adalah fenomena baru penyajian fakta yang dipandang Wolfe dan Johnson mencirikan jurnalisme baru. Menurut Wolfe, setidaknya terdapat empat genre dalam new journalisme yang berkembang dalam karya jurnalistik pekerja pers negeri itu pada era 1960-an. Selain literary journalism, ada pula advocay journalism, alternative journalism dan precision journalism.
Pemikiran Wolfe, lengkap dengan sederet berkembangnya penandaan para akademisi terhadap aneka genre jurnalisme yang terbilang membingungkan, ditularkan ke Indonesia oleh Andreas Harsono, peserta program Nieman Fellowship on Journalis di Universitas Harvard. Awal perkenalan itu memunculkan polemik. Ada anggapan, jurnalisme baru yang dirumuskan para akademisi AS itu tak lebih dari penggolongan yang tiada artinya mengingat sejak awalnya, jurnalisme telah mengenal nilai-nilai yang dirumuskan oleh Wolfe.
Polemik itu diawali pertanyaan Andreas terkait tidak berkembangnya jurnalisme sastra di Indonesia dalam dua mailing list yang diikuti banyak pekerja pers dan akademisi terkait. Polemik itu kini dicatat rapi oleh Andreas dalam blognya yang beralamat di http://andreasharsono.blogspot.com/2000/03/mengapa-jurnalisme-baru-ompong-di.html.
Seiring terbitnya buku Jurnalisme Investigasi, Jurnalisme Sastra, Menulis Feature maupun Jurnalisme Kontemporer karya dosen Universitas Islam Bandung, Septiawan Santana Kurnia yang gemar merangkum perkembangan jurnalisme AS lalu membumikannya dengan cita rasa Indonesia, perhatian akademisi Indonesia terhadap new journalism semakin menjadi-jadi. Investigation report dan literary journalism seperti menjadi mahkotanya.
Untuk memahami pemikiran-pemikiran itu, coba tilik kajian yang disusun Idhar Resmadi berdasarkan rangkuman buku Andreas dan Septiawan serta sejumlah sumber lain. Bachtiar Hakim Nitidisastra secara telaten juga merangkum buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan dan Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat suntingan Andreas.
Menurut Wolfe, literary journalism berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur wartawan menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail. Di kalangan akademisi dan pekerja pers, genre ini sempat mengalami tarik ulur definisi.
Upaya jurnalis AS menerapkan pola penulisan novel dalam penyusunan fakta sebagai berita ini setidaknya didasari dua alasan. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.
Penganut jurnalisme sastra mengakui, genre itu sejatinya berawal dari feature namun ditulis panjang lebar layaknya novel. Andreas Harsono bahkan sempat menyebut angka 20.000 karakter untuk melaksanakan genre jurnalisme ini. Jika dianut, tentu saja sulit bagi penerbitan pers untuk memuatnya, meski ada juga Hirosima karya John Hersey yang memenuhi satu edisi The New Yorker.
Pola penulisan semacam itu setidaknya membutuhkan kedalaman informasi (depth information). Untuk memenuhinya, reporter harus melakukan pengamatan seluruh suasana, melakukan dialog, memakai sudut pandang (point of view) dan mencari bentuk monolog interior yang bisa digunakan dalam tulisan mereka.
Dalam penyajiannya, literary journalism menurut Wolfe semua fakta disusun menjadi news story yang menampilkan konfigurasi sosial yang meliputi emosi, motif, kejiwaan dan berbagai ciri kemasyarakatan lainnya. Untuk itu setidaknya dibutuhkan empat alat untuk menumbuhkan keunikan karakteristik, yakni penyusunan adegan, dialog, sudut pandang orang ketiga dan mencatat detail.
Demi pencapaian sastrawi dalam penyajian genre jurnalisme ini, Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida bahkan memelesetkan pedoman standar 5W+1H layaknya pola penulisan fiksi. What menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif dan how menjadi narasi.
Para pemikir lain bahkan mengembangkan klasifikasi literary journalism Wolfe menjadi berbagai genre lain. Ada yang menyebutnya sebagai narative reporting, ada juga passionate reporting, sedangkan Pulitzer Prize menyebutnya sebagai explorative journalism.
Meskipun Andreas menyangkal genre ini sama dengan in-depth reporting karena dianggapnya lebih dalam dan tajam, pada kenyataannya sejak bertahun-tahun yang lalu, wartawan Indonesia sudah mengenal in-depth reporting yang menghasilkan berita hasil analisis mendalam yang umumnya juga disajikan dalam wujud feature ber-news story. [] bison

Senin, 23 November 2009

Jurnalisme Investigasi

Terbitnya buku Jurnalisme Investigasi karya dosen Universitas Islam Bandung, Septiawan Santana Kurnia, di tahun 2003, memberikan warna baru bagi wajah jurnalisme Indonesia. Sebagian jurnalis Indonesia latah mendukung anggapan bahwa jurnalisme investigasi merupakan mahkota dari kerja jurnalistik. Bahkan sebagian yang lain menyebut jurnalisme yang berkembang di Indonesia selama ini sekadar jurnalisme asal-asalan yang diawaki pers banci karena hanya menampilkan berita-berita ala kadarnya yang bersifat breaking news, straight news bahkan “pesanan” demi kesenangan segelintir pihak-pihak tertentu seperti penguasa, pengusaha dan kroni-kroni mereka.

Sejatinya, seperti buku lain karya Septiawan yang berjudul Jurnalisme Sastra, Menulis Feature maupun Jurnalisme Kontemporer, buku Jurnalisme Investigasi adalah semacam kapita selekta kutipan buku-buku jurnalisme populer Amerika Serikat (AS). Dikutip dalam buku itu, pendapat William L Rivers dan Cleve Mathews dalam Ethic for the Media (1988) bahwa sejarah investigasi berawal dari sebelum berdirinya AS, yakni saat Benyamin Harris di tahun 1690 menginvestigasi berbagai kejadian di masyarakat lalu melaporkannya dalam Public Occurences, Both Foreign and Domestic. Isi laporannya dinilai menentang kebijakan kolonial Inggris.

Masih mengutip Rivers dan Mathews, dipaparkan pula oleh Septiawan bahwa pada awal sejarahnya, jurnalisme investigasi amat dekat dengan pemberitaan crusading alias jihad atau perjuangan. Pada fase selanjutnya, spirit crusading itu mendapat bentuk yang lebih formal melalui penerbitan New England Courant di tahun 1721 yang diterbitkan oleh James Franklin.

Namun istilah investigasi, sebagaimana dikutip lebih banyak referensi, baru muncul saat Nellie Bly, seorang reporter Pittsburg Dispatch, melakukan reportase partisipasi layaknya sosiolog di tahun 1890, dengan bekerja di sebuah pabrik demi menyelidiki kehidupan buruh di bawah umur yang dipekerjakan dalam kondisi buruk. Menurut Septiawan, keistimewaan laporan jurnalistik investigasi Bly itu terletak pada tuntutan penyelesaian jalan keluar terhadap problema sosial yang ditemuinya. Melalui laporan investigasi tersebut, pers diposisikan sebagai pengganti pemerintah yang lemah dalam mengatur masyarakat.

Kisah Bly menjadi heroik tatkala dia akhirnya harus berhadapan dengan sebuah institusi yang sering memasang iklan pada koran tempatnya bekerja. Institusi itu mengancam memutuskan kontrak iklan dengan Pittsburgh Dispatch. Nellie Bly terpaksa dikorbankan. Dia kehilangan pekerjaan hingga kemudian direkrut Joseph Pulitzer, penerbit harian The New York World. Sejak itu Bly dikisahkan melesak ke dalam persoalan kaum pekerja di wilayah-wilayah kumuh. Laporan investigasinya mendorong terjadinya perubahan terhadap standar hidup para pekerja kelas bawah itu.

Tak seperti halnya para pengagum Bly, pegiat Institut Studi Arus Informasi yang tergabung dalam komunitas Pantau, Andreas Harsono, menyebut, investigative reporting baru popular di AS pada tahun 1975 ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. Lembaga itu menurut dia, sekadar perkembangan dari muckraking journalism yang berkembang antara tahun 1902 hingga 1912, ketika majalah McClure's menerbitkan laporan-laporan yang membongkar politik uang elite Washington.

Kekaguman sebagian jurnalis Indonesia era 2000-an kepada jurnalisme investigasi semakin menjadi tatkala negeri ini disinggahi Sherry Ricchiardi, seorang pakar Jurnalisme Investigasi AS di tahun 2007. Kepada para kolega Indonesianya, Ricchiardi menyarankan agar tak mudah putus asa terus melakukan peliputan investigasi meskipun belum menampakkan hasil.

Walaupun senantiasa menggunakan dinamika jurnalisme AS sebagai acuan sejarah jurnalisme ataupun reportase investigasi, para pengagum pola peliputan investigasi itu mengakui pula bahwa pemuatan berita yang mengungkapkan kasus korupsi di Pertamina dan Badan Urusan Logistik oleh surat kabar Indonesia Raya antara tahun 1969 dan 1972 sebagai hasil investigasi jurnalistik. Melengkapi kecemerlangan jurnalisme investigasi di Indonesia, dipaparkan juga liputan investigasi berskala internasional oleh mantan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, Bondan Winarno pada tahun 1997 terkait skandal emas Busang, Kalimantan Timur yang dipicu berita kematian Michael de Guzman, geolog senior Bre-X.

Baik Indonesia Raya maupun Bondan yang kemudian menerbitkan hasil liputannya dalam buku berjudul Sebungkah Emas di Kaki Pelangi sepertinya tak pernah mempermasalahkan apakah karya mereka itu hasil jurnalisme investigasi ataukah suatu kerja jurnalistik sebagaimana mestinya. Sebab, sebagaimana diakui Andreas Harsono, tak jelas sejak kapan istilah liputan investigasi popular di Indonesia. Dia hanya mampu memaparkan bahwa majalah dwi-mingguan Tajuk yang didirikan tahun 1996 memposisikan diri sebagai majalah berita, investigasi dan entertainmen. Sedangkan Majalah Tempo setelah terbit kembali 6 Oktober 1998, juga mulai memuat rubrik Investigasi.

Dalam urusan klaim-klaiman istilah “investigasi” di Indonesia itu, akademisi berlatar belakang praktisi pers lainnya bahkan sibuk mempersoalkan digunakannya kata itu untuk acara televisi yang menampilkan kehidupan pribadi para selebriti yang penayangannya tidak memiliki dampak bagi perubahan atau perbaikan kehidupan publik. Maklum, jurnalisme investigasi di AS sebagaimana dirumuskan Robert Greene, penerima dua kali anugerah Pulitzer, sebagai karya seorang atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan oleh mereka yang terlibat.

Liputan investigasi menurut Greene yang bekerja di Newsday, New York ini, setidaknya memiliki tiga elemen dasar, yakni liputan itu adalah ide orisinal wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media; subjek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca surat kabar atau pemirsa televisi; serta ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.

Sedangkan Goenawan Mohamad yang mengarahkan Majalah Tempo memuat rubrik Investigasi sejak terbit kembali tahun 1998, sebagaimana dikutip Andreas Harsono menyebut, investigative reporting sebagai jurnalisme membongkar kejahatan. Ada suatu kejahatan yang biasanya ditutup-tutupi. Wartawan yang baik akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen bersangkutan dan membongkar keberadaan tindak kejahatan di belakangnya.

Reportase Investigasi

Untuk memahami lebih lanjut liputan dan jurnalisme investigasi sesuai pemahaman para pengagumnya, Denoan Rinaldi melalui http://catatancalonwartawan.wordpress.com sangat membantu karena telah merangkum buku Jurnalisme Investigasi karya Septiawan. Demi mengualifikasikan liputan investigasi, Septiawan dalam buku itu bukannya mengutip karya jurnalis AS, tetapi justru mengutip jurnalis lokal Andreas Harsono. Menurut Andreas, liputan investigasi memiliki ciri-ciri:

· Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis.

· Paper trail yang dilakukan untuk mencari kebenaran dalam mendukung hipotesis.

· Wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan investigasi.

· Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas. Dalam hal ini termasuk melakukan metode penyamaran serta memakai kamera tersembunyi,

Dikutipnya pula pemikiran mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja yang mengurai reportase investigasi berdasarkan asal kata bahasa Latin. Reporting berasal berasal dari kata reportare, yang berarti membawa laporan kejadian dari sebuah tempat di mana telah terjadi sesuatu. Sementara investigative berasal dari kata vestigum, yang berarti jejak kaki. Hal inimenyiratkan berbagai bukti yang telah menjadi fakta dalam suatu peristiwa.

Reportase investigasi disebut Septiawan sebagai sebuah kegiatan peliputan yang mencari, menemukan dan menyampaikan fakta-fakta tentang adanya pelanggaran, kesalahan atau kejahatan yang merugikan kepentingan umum. Dia lalu mengutip Chris White dari Cardiff University yang menyebutkan bahwa pekerjaan jurnalisme investigasi, pertama tertuju untuk mengungkapkan dan mendapatkan sebuah kisah berita yang bagus. Kedua, menjaga masyarakat untuk memilikikecukupan informasi dan mengetahui adanya bahaya di tengah kehidupan mereka.

Reportase investigasi dapat dipahami melalui lima tujuan dan sifat pelaporannya, yaitu.

1. Mengungkapkan kepada masyarakat, informasi yang mereka perlu ketahui karena menyangkut kepentingan dan nasib mereka.

2. Laporan penyelidikan tidak hanya mengungkakan hal-hal yang secara operasional tidak sukses, tapi dapat juga sampai pada konsep yang keliru.

3. Laporan penyelidikan berisiko tinggi karena bisa menimbulkan kontroversi dan bahkan kontradiksi dan konflik.

4. Harus memikirkan dampak-dampak yang ditimbulkannya terhadap subjek laporannya dan penerbitan per situ sendiri.

5. Harus ada ideliasme, baik di dalam diri reporter maupun di sector-sektor lain pada organisasi penerbitan pers itu.

Reporter Investigatif

Dunia jurnalistik menurut Septiawan mengenal tiga tingkatan yang dilakukan reporter. Pada level pertama, reporter melaporkan kejadian dan memaparkan apa yang terjadi. Level berikutnya, mereka mencoba menjelaskan atau menginterpretasikan apa yang harus dilaporkan. Dan pada level ketiga, mereka mencari bukti yang ada di balik sebuah peristiwa.

Secara keseluruhan, dunia kerja peliputan wartawan merujuk pada tiga tipe reporter, yaitu general reporters, specialist reporters, dan reporters with an investigative turn of mind. Reporter tipe general ialah para reporter yang mencari berita tanpa mengetahui lebih dulu subjek pemberitaannya. Ia bekerja dalam ketergesaan deadline. Berita yang diliput juga ditentukan editor.

Sementara itu, reporter specialist adalah reporter yang memiliki rincian keterangan mengenai subjek liputan danmencoba menjelaskannya. Sedangkan para reporter yang bekerja dengan pikiran investigative adalah salah satu dari kedua tipe reporter sebelumnya. Reporter tipe ini selalu menyiapkan diri untuk mendengar berbagai hal yang dikatakn orang kebanyakan. Reporter investigasi juga mencari pemikiran yang berbeda dari orang-orang yang berbeda.

Kerja wartawan investigasi ibarat seorang penyelidik yang tengah meneliti dan meluruskan berbagai kebohongan yang sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu. Wartawan investigasi bisa dibedakan dengan wartawan harian. Awal perbedaannya terletak pada inisiatif wartawan investigasi yang tidak menunggu sampai suatu masalah atau peristiwa timbul dan diberitakan. Akan tetapi wartawan investigasi justru menampilkan permasalahan baru atau sesuatu hal yang baru.

Wartawan investigasi membutuhkan waktu lebih lama untuk mengungkapkan satu masalah. Mereka juga sangat selektif dan skeptis terhadap bahan berita resmi,meneliti dengan kritis setiap pendapat, catatan dan bocoran informasi. Mereka tidak serta merta membenarkannya.

Unsur-unsur yang mendukung terciptanya good investigative reporters antara lain: selalu ingin tahu, mampu mendapatkannya, mampu memahaminya, mampu menyampaikannya, menimbulkan keinginan beraksi, peduli terhadap permasalahan orang, Untuk mencapai kemampuan tersebut, wartawan investigasi memerlukan pengetahuan fakta-fakta, rasa iba terhadap pembca, aksi public, melawan ketamakan, dan perbaikan sosial.

Penyamaran

Manakala reporter mengerjakan liputan investigasi, mereka menurut Septiawan, terkadang melakukan penyamaran dan tidak mengungkapkannya pada narasumber bahwa mereka adalah reporter. Pekerjaan penyiasatan ini dinilai, oleh pihak pengecamnya, mendekati tindakan yang seharusnya menjadi tugas polisi.

Berkaitan dengan penyamaran ini, beberapa editor dan direktur berita tidak pernah mendapatkan kesepakatan soal apakah hasil akhir kerja wartawan, atas nama kepentingan publik, dapat membenarkan segala cara dalam meliput termasuk menipu jati diri.

Beberapa kalangan pers menyepakati bahwa tindakan penyiasatan seperti penyamaran merupakan sebuah upaya mendapatkan berita yang tidak melanggar etika. Mereka masih melihat hal tersebut sebagai taktik jurnalistik, bukan tindak pelanggaran.

Proses Kerja Investigasi

Secara sederhana, kegiatan liputan investigasi umumnya terbagi ke dalam dua bagian proses peliputan. Kegiatan awal investigasi ialah menelusuri berbagai permasalahan yang mesti ditindaklanjuti. Jika didapat, maka pada bagian kedua kegiatan yang merupakan tahap “serius”, investigasi dimulai.

Paul N Williams, seorang wartawan investigasi, mengidealisasikan gambaran reportase investigasi secara lengkap melalui bukunya Investigatve Reporting and Writing. Williams memberikan sebelas langkah investigative reporting, yang terdiri dari:

1. Conception. Unsur awal dari kerja investigasi ini berkaitan dengan apa yang disebut pencarian berbagai ide. Menurut Williams, ide atau gagasan bisa didapat melalui: saran seseorang, menyimak berbagai narasumber eguler, membaca, memanfaatkan potongan berita, mengembangkan sudut pandang lain dari peristiwa berita, dan observasi langsung.

2. Feasibility Study. Usai mengonsep gagasan, langkah selanjutnya adalah mengukur kemampuan dan perlengkapan yang diperlukan. Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipelajari watawan sebelum memulai liputan investigasi: berbagai halangan yang harus diatasi, orang-orang yang diperlukan, kemungkinan adanya tekanan terhadap media, serta menjaga kerahasiaan dari media lain.

3. Go-No-Go Decision. Langkah ini merupakan pengukuran terhadap hasil investigasi yang akan dilakukan. Setiap liputan investigasi mesti memperhitungkan hasil akhir dari proyek penyelidikan yang akan dikerjakan.

4. Basebuilding. Langkah ini berkaitan dengan upaya wartawan untuk mencari dasar pijakan dalam menganalisis sebuah kasus.

5. Planning. Langkah perencanaan ini berkaitan dengan kerja pengumpulan, penyusunan, dan pemilihan orang yang akan melaksanakan tugas-tugas tertentu.

6. Original Research. Kegiatan riset disini berarti kerja pencarian data, penggalian bahan, yang umumnya terdiri dari dua kerja penelusuran, yaitu: penelusuran paper trails dan penelusuran people trails.

7. Reevaluation. Setelah segala tindakan investigasi dilaksanakan dan mendapat banyak masukan data dan informasi, diadakan kegiatan mengevaluasi kembali segala hal yang telah dikerjakan dan didapat.

8. Filling the Gaps. Pada fase ini, kegiatan investigasi mengupayakan menutupi beberapa bagian bahan yang belum terdata.

9. Final Evaluation. Tahap evaluasi ini adalah pekerjaan mengukur hasil investigasi dengan kemungkinan buruk atau negatif. Yang terpenting adalah mengevaluasi keakurasian pihak-pihak yang hendak dilaporkan di dalam standar pekerjaan jurnalistik.

10. Writing and Rewriting. Pekerjaan menulis laporan memerlukan kesabaran, ketekunan, dan kemauan untuk terus memperbaiki penulisan berita jika diperlukan.

11. Publication and Follow up Stories. Pelaporan berita investigasi biasanya tidak hanya muncul di dalam satu kali penerbitan. Masyarakat kerap memerlukan perkembangan dari masalah yang diungkap.

Langkah Coroner

Seperti halnya Williams, Direktur Philipines center for Investigative Journalism (PCIJ) Sheila Coroner juga membuat langkah-langkah kerja dalam jurnalisme investigasi. Coroner menunjukkan bahwa tahapan kegiatan investigasi dapat diurutkan ke dalam dua bagian kerja. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar, sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi. Pada masing-masing bagiannya terbagi ke dalam tujuh bagian rinciannya.

Tahap kerja tersebut adalah:

Bagian Pertama

· Petunjuk awal.

· Investigasi pendahuluan.

· Pembentukan hipotesis.

· Pencarian dan pendalaman literatur.

· Wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli.

· Penjejakan dokumen-dokumen.

· Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi.

Bagian Kedua

· Pengamatan langsung di lapangan

· Pengorganisasian file

· Wawancara lebih lanjut

· Analisis dan pengorganisasian data

· Penulisan

· Pengecekan fakta

· Pengecekan pencemaran nama baik

Di dalam praktek, rincian teknis proses kerja investigasi tidaklah dilakukan dengan sama. Kenyataan di lapangan menunjukkan redaksi harus bersiap dengan segala kemungkinan yang tak terduga.

Berbagai Tips Investigative Reporting

David Spark menunjukkan beberapa konklusi yang bisa digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan reportase investigasi. Konklusi tersebut antara lain:

· Temukanlah fakta-fakta dari sebuah isu, jangan masuk ke dalam komentar para pembicara.

· Mudahkanlah berbagai konsep yang sulit, jangan terjebak dalam penulisan yang rumit.

· Jangan dipengauhi oleh narasumber utama. Carilah sumber lain dengan sudut pandang yang lain.

· Bicaralah ke beberapa orang yang relevan yang harus ditemukan.

· Jawablah pertanyaan-pertanyaan secara sederhana dan mudah yang busa membuka subjek yang hendak diinvestigasi.

· Jangan mengambil segala sesuatu dan segala orang dari nilai-nilai mereka.

· Ingatlah bahwa setiap orang, setiap organisasi, dan setiap kejadian memiliki sejarah yang memengaruhi peristiwa itu terjadi.

Selain itu, saran penting yang harus diperhatikan adalah sikap yang santun. Sikap ini mendasari pekerjaan dalam menelusuri berbagai dokumen investigatif yang kerap disembunyikan.

Septiawan sempat pula memberikan catatan bahwa banyak wartawan berpendapat bahwa dalam investigasi, segala cara dibenarkan, termasuk mencuri data, mencuri pembicaraan orang, maupun mencuri informasi. Tindakan mencuri ini, dalam berbagai sudut pandang, telah menjadi bahan diskusi yang alot di dunia jurnalisme investigasi. Hal ini sangat erat kaitannya dengan masalah etika dan hukum.

Riset Investigasi

Pentingnya Riset

Akar dari setiap investigasi ialah informasi. Pekerjaan dari setiap wartawan investigasi adalah mendapatkan informasi, mengevaluasi dan menganalisisnya, serta mengkomunikasikannya ke banyak orang. Maka itulah, muncul persoalan mengenai pencarian ketepatan informasi.

Dalam investigasi, riset mengenai informasi penting untuk dilakukan. Beberapa ahli memasukkan kegiatan riset dalam tahapan kerja investigasi. Terdapat beberapa alasan mengapa melakukan riset secara seksama merupakan hal yang penting di lakukan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Memperkenalkan reporter ke dalam bahasa topik yang kompleks. Mereka harus menjelaskan berbagai hal yang menyangkut pengertian terhadap dasar permasalahan, serta berbagai prosedur teknis yang tengah diinvestigasi.

2. Memperkenalkan reporter pada orang-orang yang telah menjadi sumber berita, mengenai kisah-kisah yang sama pada masa lalu.

3. Membantu reporter dalam menyusun daftar pertanyaan.

4. Mendapatkan berbagai bahan tulisan lain yang memiliki kesamaan topik.

5. memberikan petunjuk tentang the good things and the bad things, sesuatu yang baik dan buruk, selama wawancara.

Precision Jurnalism

Melalui tulisannya, Philip Meyer dari University of North Carolina mengingatkan jurnalis tentang penggunaan metode-metode ilmu pengetahuan sosial, seperti prosedur pemilihan sampel dan penganalisisnya, sebagai alat untuk memvaliditaskan akumulasi fakta-fakta agar mendekati ketepatan dan keobjektifan pemberitaan.

Teknik keilmuan ini diperlukan untuk menemukan fakta-fakta, menelusuri pemahaman yang diperlukan ketika mengamati suatu gejala, dalam ketergesa-gesaan tuntutan waktu terbit dan aktualitas berita.

Peliputan precision menggunakan rancangan penelitian yang sistematis dan terencana. Rancangan sistematika peliputannya antara lain menggunakan metode penelitian seperti perumusan masalah, penetapan tujuan, identifikasi hipotesis, pengumpulan dan pengolahan serta penginterpretasian data, walau tidak sekonsisten riset para akademisi.

Metodologi yang dipakai di antaranya mencakup penelitian survei, sampel acak, teknik-teknik wawancara sesuatu yang sensitif, dan eksperimen lapangan. Metode kuantitatif seperti perhitungan statistik mengukur opini khalayak melalui sebuah polling, cenderung kerap digunakan.

Hipotesis Investigasi

Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang adalah sarana untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis. Hipotesis sangatlah penting untuk membantu wartawan memfokuskan diri dalam suatu investigasi.

Hipotesis ini bisa dideskripsikan ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang mendasar. Sedangkan dalam hal kegiatan riset investigasi, rumusan hipotesis yang berbentuk pernyataan memerlukan kerangka latar belakang, dasar-dasar pikiran, dan hal-hal yang menjadi landasan asumsi hipotesis dari riset investigasi yang hendak dilakukan.

Survei

Metode survei, termasuk poling kerap digunakan dalam kegiatan investigasi. Hal ini dapat dilihat pada poling yang dilakukan saat pemilihan umum. Kerja peliputan menggunakan riset ilmu sosial yang dapat menjadi alat bagi koran-koran yang hendak menangkap sikap masyarakat pada berbagai masalah sosial.

Namun yang harus diwaspadai, masalah bisa timbul dari sampel orang-orang yang disurvei. Mereka bisa saja tidak merepresentasikan keseluruhan kelompok yang mewakili. Hal ini dapat mengakibatkan berbagai kesalahan temuan yang hendak dijadikan standar proyeksi dalam pelaporan pemberitaan.

Sumber-Sumber Informasi

Untuk memenuhi kebutuhan riset, dengan kelengkapan data yang diperlukan, peliputan mesti mengenali berbagai sumber informasi yang layak, kredibel, dan sesuai dengan tuntutan desain perencanaan riset. Peliputan jurnalisme memerlukan perencanaan riset terhadap berbagai sumber informasi.

Strentz membedakan dua sumber berita yang bisa dilacak wartawan, yaitu sumber berita konvensional dan sumber berita non-konvensional. Sumber berita konvensional merupakan sumber informasi yang biasa didapat wartawan di dalam proses operasional pencarian berita. Sedangkan, sumber berita non-konvensional adalah sumber informasi yang didapat dengan cara khusus dan menyangkut sumber informasi yang tidak biasa menjadi rekanan wartawan dalam meliput berita.

Sumber Informasi lain: Internet

Kemajuan teknologi informasi menjadikan para jurnalis saat ini menggunakan berbagai kemudahan akses untuk mendapatkan informasi, tak terkecuali dengan pengunaan teknologi internet. Menurut sebuah survei yang disponsori agen public relation Burson-Marsteller, diberitakan bahwa internet telah menjadi tumpuan pencarian bahan riset para jurnalis.

Lebih dari sepertiga reporter yang disurvei mengatakan bahwa internet merupakan tempat pertama untuk mencari data, dan hanya seperempat yang mengatakan mereka akan ke perpustakaan lebih dulu.

Selain itu, lebih dari separuh responden mengatakan bahwa internet bisa diandalkan. Para wartawan itu juga mengatakan bahwa internet bisa diandalkan karena jaminan keamanan serta banyaknya informasi yang disediakan. Studi ini menunjukkan para wartawan tersebut banyak mengahbiskan waktu secara online.

Wawancara Investigasi

Di dalam kegiatan jurnalistik, wawancara memang merupakan salah satu kegiatan kewartawanan yang sangat penting. Melalui wawancara, didapat keterangan yang diperlukan wartawan.

Bagi kalangan wartawan, kegiatan wawancara memerlukan upaya khusus terhadap kondisi psikis narasumber. Mereka harus membangun suasana wawancara yang menyenangkan, dapat menempatkan empati, saling membagi perasaan, dan emosi. Berbagai gaya pewawancara juga bisa dilihat dari cara wartawan mendekati subjek. Ada yang dengan cara malu-malu, rendah diri, outgoing, supel, atau yang cenderung mengintimidasi lawan bicara. Tidak setiap gaya pendekatan akan sama berhasilnya pada setiap orang yang diwawancara. Berbagai literatur menyatakan pendekatan yang terbaik adalah pendekatan yang bersifat natural, alami, yang paling membuat pewawancara merasa nyaman.

Kegiatan wawancara dalam jurnalisme investigatif, menekankan pada upaya gigih dari wartawan untuk menjaring fakta. Dalam tiap penggalian fakta, seorang wartawan mesti menyiapkan segala bahan dan data yang berkaitan dengan topik yang hendak diliputnya. Pemadatan informasi, masalah-masalah yang diajukan reporter dan sumber berita, batas waktu, dan gaya pengumpulan berita, menurut Strenz merupakan hal-hal peka yang memengaruhi proses pengalian berita dalam wawancara.

Dari setiap sumber beritanya, wartawan investigatif harus memperhitungkan kemungkinan manipulasi keterangan yang disengaja atau tidak. Selain itu, ia juga harus memberi perhatian yang sama kepada tiap narasumber.

Teknik Wawancara

Beberapa teknik wawancara menurut Nelson secara garis besar adalah.

· Melontarkan pertanyaan yang tersusun atas dua kata.

· Keheningan bisa menjadi senjata ampuh bagi sang pewawancara.

· Jangan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tolol.

· Ada dua metode yang umum dilakukan untuk mendapatkan hasil wawancara:mencatatnya di kertas atau merekamnya.

· Alat perekam dianjurkan digunakan untuk merekam isu-isu kontroversial.

· Hasil wawancara harus senantiasa di cek dan re-cek, terutama menyangkut isu-isu kontroversial.

Dalam menuliskan kembali hasil wawancara, hal yang kerap dilupakan penulis adalah kaidah bahasa penulisan kalimat langsung menjadi tak langsung. Dan apapun yang diletakkan diantara tanda kuti, kalimat itu harus tepat seperti yang dikatakan.

Keterangan Narasumber

Beberapa jenis keterangan narasumber yang harus disepakati, sebelum bahan wawancara ditulis antara lain.

On the record

Semua pernyataan boleh dikutip dengan menyertakan nama serta gelar orang yang membuat pernyataan tersebut.

On Background

Semua peryataan boleh dikutip tapi tanpa menyertakan nama dan gelar orang yang memberi peryataan tersebut.

On Deep Background

Apapun yang dikatakan boleh digunakan tapi tidak dalam bentuk kutipan langsung dan tidak untuk sembarang jenis penyebutan.

Off the record

Informasi yang diberikan tidak boleh disebarluaskan. Dan juga tidak boleh dialihkan kepada narasumber lain dengan harapan bahwa informasi itu kemudian boleh dikutip.

Affidavit merupakan bahan yang dapat memperkuat berita investigatif karena berbentuk pernyataan tertulis yang dibuat di bawah sumpah di hadapan notaris publik. Keterangan affidavit menepis kemungkinan penyangkalan narasumber yang menyatakan dirinya telah salah dikutip.

Melakukan Wawancara (Investigatif)

Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan wartawan di dalam melaksanakan kegiatan wawancara, yaitu upaya mempersiapkan wawancara dan mengajukan pertanyaan yang bagus serta upaya mempersiapkan wawancara dengan pengumpulan informasi yang terkait.

Kualitas pertanyaan akan menentukan seberapa bagus berita dapat dibuat. Karena, ajuan pertanyaan yang dilontarkan wartawan itu bisa berarti risiko, ancaman, dan tekanan. Di dalam wawancara yang tengah berlangsung, hendaknya hindari pertanyaan yang menggunakan kata perasaan.

Wartawan investigatif kerap menggunakan pertanyaan yang meminta klarifikasi. Pertanyaan investigatif dapat menggunakan teknik manipulasi sikap seolah-olah mengetahui fakta yang terjadi. Serangkaian pertanyaan juga dapat diajukan secara sengaja walaupun jawabannya telah diketahui.

Selain itu, bagi wartawan investigatf, hal yang sangat mutlak adalah persiapan membaca berbagai peristiwa kontemporer.

Jenis-Jenis Wawancara

Wawancara Telepon

Hubungan telepon dinilai dapat memangkas waktu dan memungkinkan mengajukan pertanyaan lebih lugas daripada pertemuan tatap muka. Wartawan dimungkinkan untuk mencatat atau merekam komentar tanpa mengganggu pembicaraan. Namun feedback non-verbal tidak dapat diamati wartawan.

Wawancara Langsung

Melalui pertemmuan langsung, wartawan dapat lebih banyak memiliki waktu dan kemungkinan mendapat ranah-ranah baru pemberitaan.

Konferensi Pers

Konferensi pers sering diartikan sebagai suatu peristiwa yang direncanakan oleh para pejabat atau pengusaha untuk kepentingan dan keinginan sendiri. Suasana konferensi pers membuat wartawan sulit mendapat, atau mengejar informasi yang berharga.

Jenis wawancara menurut Itule & Anderson adalah sebagai berikut.

Interviews from the Outside In

Interviews from the Outside In merupakan jenis wawancara melingkar yang melibatkan keseluruhan subjek-subjek wawancara dari yang paling tidak penting sampai pada yang paling penting.

Smoking-Gun Interviews

Wawancara ini bukan dalam bentuk mengajukan pertanyaan umum, tapi langsung menyodorkan bukti-bukti atau rekaman video mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang diwawancara, dan melontarkan pertanyaan langsung tentang sebuah insiden yang spesifik.

Banyak wartawan investigatif mengkritik interview jenis ini karena mereka memepercayai semua narasumber harus diberi kesempatan untuk mengungkapkan pandanga-pandangan teoritis mereka.

Double Checks and Triple Checks

Reporter yang menggarap kisah-kisah investigatif memiliki waktu yang lebih panjang dan tidak megalami tekanan deadline, untuk itu mereka diharuskan melakukan upaya double checks and triple checks pada segala sesuatu yang dikatakan oleh sumber mereka.

Penulisan dan Etika Investigasi

Penulisan

Menulis laporan investigasi, tak jauh berbeda dengan kerja redaktur, khususnya dalam kepekaan untuk mengedit naskah tulisan reporter atau copy editing siaran. Penulisan investigatif memerlukan kecermatan dalam mengengkat berbagai fakta yang hendak dilaporkan.

Rangkaian berbagai fakta yang ditemukan selama melakukan riset, tidak perlu dijelaskan dengan sedemikian ekspositoris oleh penulis. Rangkaian fakta yang disampaikan merupakan representasi dari apa-apa yang hendak dihipotesiskan wartawan investigasi.

Penulisan memerlukan upaya yang bersifat pengecekan, evaluatif, atau lontaran saran dan pandangan dari pada narasumber yang telah menjadi informan di dalam pelaporan tersebut. Hal ini sangat penting dilakukan bagi penulisan investigasi dengan tujuan menghindarkan terjadinya ketidaktepatan dan kesalahpahaman yang bisa berakibat fatal.

Beberapa Segi Penulisan Investigatif

Steve Weinberg menegaskan bahwa penulisan jurnalisme sastra atau literacy journalism merupakan perangkat yang banyak dipakai para wartawan investigatif ketika melaporkan skandal atau kasus pelanggaran. Literacy journalism tidak hanya menekankan pada pemakaian unsur sastra dalam tulisan, tetapi juga meliputi intensitas laporan yang mendalam.

Pelaporan investigatif juga menjadi sebuah bentuk penulisan yang tidak hanya berisi muatan fakta-fakta tenttang pelanggaran, akan tetapi terkait juga upaya pembuatan kisah berita yang dapat menembus emosi pembaca serta mempersuasi khalayak.

Pembuatan kerangka tulisan juga dibutuhkan dalam proses pembuatan laporan investigasi. Upaya membuat kerangka tulisan berdasarkan kronologi data merupakan alat vital. Pekerjaan ini dapat membantu memudahkan pembuatan susunan sub-plot, mendapatkan angle baru, mencegah hilangnya keterangan penting di dalam pkeutuhan pengisahan investigasi.

Sistem Memo: Untuk Menyusun Data

Kegiatan jurnalisme investigasi mengenal sebuah cara pengaturan yang disebut “Sistem Memo.” Sistem yang diusulkan oleh Bob Greene ini merupakan sebuah pengaturan sistem pelaporan yang sangat mendukung kecermatan kerja investigasi.

Sistem ini menjamin panyajian hasil investigasi menjadi sepersis apa yang telah didapat oleh wartawan di lapangan. Sistem memo ini merupakan berbagai berita harian yang dikerjakan wartawan itu sendiri.

Melalui sistem memo, wartawan investigasi emiliki peluang yang terukur untuk membuat sajian penulisan berita yang memikat. Hal ini dikarenakan bahan sudah lengkap, sehingga tinggal menerjakan penulisan akhir saja. Ketika mengerjakannya, dengan memanfaatkan memo-memo tersebut, pelaporan dengan mudah tinggal mengurutkannya saja.

Struktur Penulisan Investigatif

Kaidah piramida terbalik digunakan sebagai sarana mengorganisir informasi dari urutan yang paling penting ke yang kurang penting. Pelaporan investigasi juga mementingkan kebutuhan khalayak yang ingin segera menemukan apa yang harus dipahaminya.

Carole Rich menyebut “5 Hal Penting” dalam penulisan berita. Rumus ini dapat dijadikan variasi dari kaidah priramida terbalik. Kelima hal tersebut, yaitu: news (apa yang terjadi atau akan diperitiwakan), context (latar belakang dari kejadian), scope (apakah peristiwa lokal menjadi bagian dari peristiwa atau gejala di tingkat nasional), edge (kemana berita hendak diarahkan dan apa yang terjadi kemudian), dan impact (mengapa menajdi perhatian banyak orang). Sifat dramatis juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan.

Melalui tiga babak pengisahan, struktur kisah dilaporkan. Pada bagian awal kisah digambarkan adanya permasalahan. Bagian tengah menyiratkan berbagai kejadian atau aksi. Sementara itu, akhir kisah dapat memberikan resolusi.

Penulisan investigasi tetap memakai dasar pelaporan yang biasa dikerjakan kalangan jurnalis, yaitu: awal (lead), tubuh (middle), dan penutup (ending).

Bagian awal

Jenis-jenis lead dari hard news dapat menjadi pembuka yang kerap dipakai wartawan investigasi ketika mereka telah siap untuk membuka kisah penyelidikan yang penuh dengan kerumitan. Untuk itu, pembuka jenis ringkasan (summary) dipergunakan.

Carole Rich memberika bentukan pembuka yang tidak langsung memaparkan permasalahan. Rich menyebutkan jenis descriptive leads, narrative leads, dan anecdot leads, sebagai pengawal kisah berita. Selain itu ada juga pelaporan yang dibuka dnegan lead kutipan langsung.

Bagian tubuh

Banyak bagiannya yang menggunakan teknik penulisan yang didasari oleh kecakapan penulisan sastra. Penjelasan yang berupa angka-angka atau statistical memerlukan penanganan khusus agar pembaca tidak jenuh dengan uraian yang bersifat teknis.

Bagian ini membangun pengisahan menjadi rincian action dari karakter utama permasalahan yang kompleks, serta perubahan karakter permasalahan. Salah satu teknik penarik uraian, di bagian tengah ini, adalah pengisahan adegan. Melalui adegan, permasalahan dipertunjukkan seluk beluk kejadiannya.

Bagian penutup

Bagian akhir dari penulisan investigasi seringkali memaparkan kedalaman pikiran dan emosi ke dalam benak pembaca.

Etika dan Hukum dalam Investigatif

Pelaporan investigasi memiliki kecenderungan untuk mejadi pelaporan fakta-fakta tanpa bukti atau pelanggaran faktual. Hal ini mengundang banyak permasalahan di dalam soal label atau penjulukan, fitnah, atau pencemaran nama.

Teori penjulukan ini menyatakan bahwa proses penjulukan ini dapat sedemikian hebat sehingga korban-korban misinterpretasi ini tidak dapat menahan pengaruhnya. Untuk itu, warawan harus lebih akurat ketika menggambarkan who and what we are.

Dalam sikap dan perilaku reportasenya, pekerjaan investigative reporting mengandung nilai etik jurnalistik. Wartawan investigasi dibatasi oleh self legislation dan self enforcement di dalam pekerjaannya.

Bagi wartawan yang terbuai kemudahan yang diberikan teknologi serta tuntutan atas persaingan dagang di kalangan pengelola media massa dan desakan kebutuhan lain yang bermuara kepada tumpulnya daya kritis mereka, rangkuman Jurnalisme Investigasi karya Septiawan Santana Kurnia yang ditampilkan Denoan Rinaldi itu mungkin mencengangkan. Tetapi, andai saja mereka bekerja layaknya wartawan Indonesia Raya di era 1960-an hingga 1970-an, atau Bondan Winarno pada tahun 1997, tentu paparan itu menjadi hal biasa yang memang sudah semestinya dilakukan pers.

Kompetensi wartawan yang disyaratkan Dewan Pers telah mencerminkan hal serupa. Bahkan juga rumusan lebih purba, seperti yang ditawarkan Karya Latihan Wartawan Indonesia. Pun materi-materi inhouse training media massa, bahkan yang lebih ’kanak-kanak’ seperti Kurikulum Pendidikan Jurnalistik Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia hasil Lokakarya Nasional Pers Mahasiswa Indonesia di Universitas Brawijaya, 1992 silam.

Konsep-konsep itu mendasarkan kesadaran bahwa pembelajaran wartawan dalam mencari, mengolah dan selanjutnya menyajikan fakta dalam bentuk berita biasanya dilakukan secara berjenjang. Pada saatnya, setiap wartawan perlu melakukan reportase investigasi ataupun reportase partisipasi jika harus mengungkap fakta tersembunyi, namun tak perlu setiap saat menerapkan kedua teknik tersebut. []

Kompetensi Wartawan

Kompetensi Wartawan:

Pedoman Peingkatan Profesionalisme dan Kinerja Pers

Penerbit:
- Cetakan pertama, Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi, Oktober 2004
- Cetakan kedua, Dewan Pers dan Friedrich Ebert Stiftung-FES, Oktober 2005
- Cetakan Ketiga, Dewan Pers, April 2006
- Cetakan Keempat, Dewan Pers, September 2006
Tebal: xiii + 66 halaman
Pengarang : Perumus: Lukas Luwarso dan Gati Gayatri
ISBN : 979-99140-0-0

Rangkuman

Sebagian kalangan menilai dunia kewartawanan pascareformasi telah rusak dan kacau. Di era kebebasan pers yang melahirkan begitu banyak pers baru, kualitas karya jurnalistik dan etika pers justru sering dipertanyakan berbagai kalangan masyarakat.

Banyak orang mengaku sabagai wartawan atau menyandang predikat wartawan kendati tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan jurnalistik yang memadai. Menjadi wartawan, bahkan menjadi pemimpin redaksi terkesan merupakan suatu profesi yang kurang dihargai masyarakat.

Beragam pengetahuan dan kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh wartawan sering diabaikan. Tidak ada tolok ukur yang jelas untuk mengevaluasi kinerja pers dan profesionalisme wartawan.

Situasi yang memprihatinkan itu mendorong keinginan sejumlah pihak untuk merumuskan tolok ukur kompetensi wartawan. Standar kompetensi wartawan itu diharapkan mampu menjawab keresahan masyarakat terhadap perkembangan pers, serta menjadi upaya mengembalikan martabat pers dan profesi wartawan di Indonesia, sekaligus memajukan kinerja pers dan profesionalisme wartawan.

Forum Peduli Media Massa mengaji dan menyusun konsep Standar Kompetensi Wartawan. Kementerian Komunikasi dan Informasi juga menyelenggarakan lokakarya dan diskusi mengenai kompetensi wartawan pada akhir tahun 2003. Selanjutnya, Dewan Pers sebagai institusi yang mengemban peran dalam penerapan swaregulasi pers, melanjutkan upaya merumuskan kompetensi wartawan tersebut.

Naskah yang dirumuskan Lukas Luwarso dan Gati Gayatri itu disusun berdasarkan wacana yang berkembang pada empat lokakarya yang diselenggarakan Dewan Pers pada Juli-September 2004 ditambah berbagai informasi hasil wawancara dan studi pustaka. Dalam menerbitkan naskah tersebut, Dewan Pers sempat bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi, serta Friedrich Ebert Stiftung-FES.

Latar Belakang

Kinerja pers dan profesionalisme wartawan yang baik sangat penting bagi pembangunan masyarakat yang demokratis, pengembangan tata pemerintahan yang bersih (good governance), dan pengembangan ruang publik (public sphere) bagi dialog terbuka antaranggota masyarakat. Kinerja pers dan profesionalisme wartawan yang baik dapat diwujudkan hanya apabila wartawan yang bekerja di perusahaan pers, memiliki kompetensi yang memadai.

Untuk itu, Dewan Pers merumuskan pedoman kompetensi wartawan dan tolok ukurnya. Rumusan Kompetensi Wartawan itu diharapkan menjadi rujukan bagi:

  • Proses rekruitmen dan pengembangan sumber daya manusia wartawan,
  • Upaya peningkatan kemampuan diri bagi wartawan lepas, sebagai sarana untuk mengukur kemampuan dan pengetahuan,
  • Pengembangan karir dan manajemen kewartawan, bagi perusahaan pers,
  • Penyusunan silabus pelatihan jurnalistik,
  • Penyusunan kurikulum jurnalisme di universitas dan perguruan tinggi,
  • Upaya peningkatan kualitas wartawan oleh asosiasi wartawan,
  • Membangun pers yang bermartabat dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi wartawan.

Profesionalisme Wartawan

Dalam menyusun standar kompetensi wartawan itu, ditelaah sederet konsep terkait profesionalisme wartawan, termasuk yang dikemukakan Ishadi SK. Menurutnya, profesionalisme wartawan adalah tingkat kemampuan wartawan dalam menyadari, memahami dan terampil menyelesaikan pekerjaannya.

Wartawan profesional bekerja untuk kepentingan perusahaan, konsumen (pembaca, pendengar atau pemirsa), khalayak luas dan bangsa. Oleh karena itu wartawan profesional dituntut sadar tanggung jawab sosial, memahami visi dan misi media, serta menguasai hal-hal teknis yang terkait dengan pekerjaan media.

Kinerja wartawan/pers juga terkait dengan kepentingan bisnis, yakni menghasilkan produk laporan informasi yang harus laku dijual dan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Kepentingan bisnis itu seringkali berbenturan dengan fungsi ideal pers dan kerja wartawan yang dituntut melayani masyarakat dalam hal pencerahan, pendidikan, informasi dan hiburan.

Dalam menjalankan profesinya, wartawan juga dituntut berperan melakukan intepretasi terhadap realitas untuk dihadirkan kepada khalayak, dengan menyebarkan berita secepat mungkin dan kepada sebanyak-banyaknya khalayak. Selain itu, wartawan berfungsi sebagai sarana kontrol (watch dog) publik terhadap penyelenggara kekuasaan, dinamika sosial dan praktek bisnis.

Sesuai peran dan fungsinya, wartawan menurut Dewan Pers dituntut:

  • Menyebarkan informasi secara faktual, akurat, netral, seimbang dan adil,
  • Menyuarakan pihak-pihak yang lemah, kritis terhadap mereka yang berkuasa,
  • Skeptis dan selalu menguji kebijakan yang dibuat penyelenggara kekuasaan,
  • Memberikan pandangan, analisis, dan intepretasi terhadap masalah-masalah sosial politik dan ekonomi yang rumit,
  • Mengembangkan minat kultural dan intelektual di kalangan masyarakat,
  • Memperkenalkan gagasan, ide dan kecenderungan baru dalam masyarakat,
  • Menegakkan dan mematuhi etika jurnalistik.

Demi menjaga profesionalisme, wartawan mutlak selalu menggunakan metode dan prosedur yang benar dalam pengumpulan, pengolahan dan penyebaran informasi. Upaya itu dilaksanakan dengan memastikan bahwa informasi (berita) yang disebarkan adalah fakta yang objektif, bisa diperiksa, diverifikasi, menyebutkan sumber informasi, dan menghindari opini pribadi.

Selain itu, wartawan profesional juga dituntut untuk terus:

  • Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan,
  • Membangun dan memperluas jaringan narasumber,
  • Mengembangkan kualitas diri,
  • Mengerti dan mengikuti analisis kuantitatif maupun kualitatif karyanya,
  • Memahami sisi bisnis, media tempat dia bekerja,
  • Menyeimbangkan antara kepentingan bisnis dan peran ideal media.

Kompetensi Wartawan

Sejumlah referensi dikaji dalam penyusunan standar kompetensi wartawan itu, termasuk tiga kategori kompetensi wartawan yang dianut The Poynter Institute, yakni kesadaran (awareness), pengetahuan (knowladge) dan keterampilan (skills). Kesadaran mencakup kesadaran tentang etika, hukum dan karir. Pengetahuan mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawan yang bersangkutan. Sedangkan keterampilan mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan, seperti komputer, kamera, scanner, faksimili dan sebagainya.

Dewan Pers menyadari bahwa kompetensi wartawan biasanya diperoleh seseorang melalui pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan itu mencakup bidang pengetahuan profesional, pengetahuan topik tertentu dan pengetahuan komunikasi. Program pendidikan jurnalistik ditentukan oleh kebutuhan praktis dan hal-hal ideal dalam menghasilkan pemikiran kritis dan reflektif. Pendidikan jurnalistik tersebut sedikitnya mencakup dua aspek utama, yakni dasar-dasar keterampilan praktis dan pelatihan standar, serta pendidikan kontekstual umam.

Sebagai upaya mencapai kompetensi itu, Dewan Pers merumuskan tiga upaya mencapai kompetensi wartawan, yakni melalui pendidikan jurnalistik, pelatihan jurnalistik, serta sistem pengembangan karir.

Pendidikan jurnalistik yang dilaksanakan perguruan tinggi di Indonesia, umumnya sarjana ilmu komunikasi jurusan jurnalistik, diarahkan memiliki:

  • Pemahaman terhadap etika jurnalistik, hukum dan ketentuan lain yang mengatur media massa,
  • Pengetahuan dan kepekaan terhadap aspek-aspek kehidupan dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,
  • Kemampuan teknis dalam mencari, mengolah, menulis dan menyampaikan berita/artikel atau laporan melalui media massa sesuai kode etik jurnalistik,
  • Kemampuan dan mengembangkan usaha penerbitan media cetak dan atau media elektronik,
  • Kemampuan melakukan penelitian di bidang media massa.

Sedangkan pelatihan jurnalistik, meskipun materinya bervariasi, programnya dapat dibedakan menjadi enam tingkatan, yaitu:

1. Orientasi: memahami sistem media,

2. Keterampilan dasar: menulis, mengedit, dan kemampuan penguasaan olah bahasa lainnya,

3. Keterampilan teknis: penggunaan peralatan teknis.

4. Pembaruan keterampilan: ditujukan kepada wartawan yang telah berpengalaman untuk meningkatkan keterampilan teknis,

5. Latar belakang persoalan: memahami isu-isu sosial, budaya dan ekonomi dalam masyarakat,

6. Aplikasi tertentu: berbagai bidang komunikasi massa memerlukan pelatihan khusus. Misalnya: kursus singkat menulis masalah keuangan dan perbankan, pelatihan jurnalisme lingkungan, meliput konflik, dan sebagainya.

Pelatihan itu, menurut Dewan Pers dapat dibagi menjadi tiga tingkatan:

1. Tingkat dasar, untuk wartawan magang dan masa percobaan.

2. Tingkat menengah, untuk wartawan yang telah berpengalaman kerja antara dua sampai lima tahun.

3. Tingkat lanjut, untuk wartawan yang telah bekerja di atas lima tahun.

Materinya dapat mencakup pengenalan dunia jurnalistik, kode etik jurnalistik, bahasa jurnalistik, teknik reportase, wawancara, kiat penulisan berita dan artikel, foto jurnalistik dan desain grafis dan seterusnya.

Untuk sistem pengembangan karir, rumusan Dewan Pers bukan semacam pangkat dan jabatan, melainkan alat bantu bagi institusi pers untuk mengidentifikasi pencapaian kompetensi wartawan. Levelisasi hanya dimaksuskan untuk mengelompokkan tingkat pemahaman, pengetahuan dan kemampuan wartawan dalam melaksanakan tugas kewartawanan. Pengelompokkan yang dilakukan Dewan Pers ini bersifat longgar dan tidak mutlak sama persis di semua institusi pers:

Level 1: Wartawan junior

  • Memiliki pendidikan formal minimal setingkat akademi atau berpendidikan SMU dan pernah mengikuti pelatihan kewartawanan minimal 40 jam,
  • Pernah mendapatkan pelatihan dasar jurnalisme,
  • Terampil mengumpulkan unsur kelengkapan berita (5W+1H),
  • Dapat menilai bahan berita yang dikumpulkannya sesuai petunjuk wartawan madya atau senior,
  • Dapat mengoperasikan kamera, tape recorder, telepon seluler dan komputer untuk kepentinganpengumpulan bahan sesuai petunjuk wartawan madya atau senior,
  • Mampu menerapkan kode etik kewartawanan saat mencari dan mengumpulkan bahan berita.
  • Sistem pengembangan karir

Level 2: Wartawan madya

  • Mampu menentukan sumber yang layak menjadi berita dan mampu menuliskan copy berita dari bahan berita yang dikumpulkan wartawan junior serta melengkapinya dengan fakta lain yang relevan,
  • Memahami karakter sumber berita,
  • Khusus untuk media elektronik, mampu mengoperasikan alat-alat editing, mixing, dan recording.
  • Khusus untuk media online, mampu mengoperasikan internet, download, offload, dan email.
  • Dalam menulis berita, mampu menerapkan kode etik pencarian dan penulisan berita,
  • Mampu menyusun dan mengoordinir tim peliputan,
  • Memahami karakter sumber berita,
  • Mampu menyusun term of reference (TOR) peliputan.

Level 3: Wartawan senior
  • Memiliki ketajaman menentukan sumber berita yang relevan dan komprehensif dengan peristiwa yang diliput, serta mampu membina hubungan dengan sumber berita tersebut,
  • Memiliki kepekaan melihat suatu peristiwa/persoalan dalam kaitannya dengan konteks yang lebih luas,
  • Mampu menilai peringkat nilai berita dari berita yang tersedia,
  • Mampu memilih jenis penyajian yang relevan dengan fakta yang tersedia,
  • Mampu memberikan solusi setiap persoalan redaksional.
  • Melakukan pengawasan terhadap isi pemberitaan,
  • Mampu mengevaluasi hasil kerja redaksi,
  • Mampu menyusun agenda pemberitaan,
  • Mampu menyusun kebijakan redaksional,
  • Mampu menilai pekerjaan wartawan junior dan madya.

Dengan standar kompetensi itu, sebagaimana dinyatakan oleh Joseph Straubhaar & Robert LaRose dalam Media Now: Communications Media in the Information Age, jika seorang sarjana jurnalistik tidak mengetahui atau tidak mampu menulis sebaik calon-calon wartawan lain yang memiliki latar belakang pendidikan nonjurnalistik, maka gelar sarjana jurnalistik itu sendiri tidak menjamin pemiliknya mendapatkan pekerjaan kewartawanan. [] Bison