Senin, 14 September 2009

Bahasa Indonesia Jurnalistik

Pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita, sangat erat kaitannya dengan bahasa sebagai media utama. Bahkan penguasaan bahasa sangat menentukan keberhasilan jurnalis dalam menyajikan fakta dalam bentuk berita kepada khalayak. Semakin baik penguasaan bahasa seorang jurnalis, semakin besar pula kemungkinan berita itu sampai kepada khalayak dengan baik.

Dalam kenyataannya, hubungan antara jurnalis dengan para ahli bahasa tak selamanya mulus. Kendati patokan bahasa Indonesia dari waktu ke waktu senantiasa berubah-ubah, namun selama bertahun-tahun itu para pakar bahasa Indonesia memosisikan kalangan pers sebagai perusak tatanan.

Tengok saja hasil Konggeres Bahasa Indonesia I di Solo, 25-27 Juni 1938, yang dikutip Dr Hasan Aloi dalam makalah berjudul “Peran Media Massa: Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pembinaan Bahasa” yang disampaikannya dalam Simposium Nasional Ragam Bahasa Jurnalistik an Pengajaran Bahasa Indonesia di Semarang, 1996. Para peserta Kongres Bahasa Indonesia I menyatakan, “Setelah mendengar preadvies toean Adi Negoro, tentang ‘Bahasa Indonesia di dalam persoeratkabaran’, maka sepandjang pendapatan Konggeres, soedah waktoenja wartawan berdaja soepaja mentjari djalan-djalan oentoek memperbaiki bahasa di dalam persoeratkabaran. Karena itoe berharap soepaja Perdi bermoepakat tentang hal itoe dengan anggota-anggotanja dan komisi jang akan dibentuk oleh Bestuur Konggeres jang baru bersama-sama dengan Hoofbestuur Perdi.”

Baru pada Kongres Bahasa Indonesia II di Medan 28 Oktober-2 November 1954, dinyatakan, “Bahasa Indonesia di dalam Pers dan Radio tak dapat dianggap sebagai bahasa jang tak terpelihra baik. Bahasa Indonesia didalam Pers dan Radio adalah bahasa masjarakat umum jang langsung mengikuti pertumbuhan sebagai fungsi masjarakat. Pers dan Radio hendaknya sedapat mungkin berusaha memperhatikan tatabahasa jang resmi. Menganggap perlu supaja dianjurkan adanja kerdjasama jang lebih erat antar Pers dan Radio dengan Balai2 Bahasa.”

Dibandingkan jemawa para peserta Konggeres Bahasa Indonesia I, sikap peserta Kongres Bahasa Indonesia II terhadap penggunaan bahasa Indonesia dalam pers dan radio tampak melunak. Sikap lebih tahu diri para ahli bahasa terlihat lebih jelas jika disimak hasil-hasil Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta 28 Oktober-2 November 1993.

Disebutkan dalam hasil, hasil kongres itu antara lain:
1. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa perlu membina kerja sama yang luas dengan berbagai lembaga, terutama dengan perguruan tinggi dan media massa.
2. Untuk meningkatkan sikap positif dan menggalakkan penggunaan bahasa yang lebih cendekia, media cetak dianjurkan menyediakan rubrik bahasa sebagai sarana pembaca untuk berdialog mengenai bahasa.
3. Dalam memperkaya bahasa Indonesia, dunia pers telah menunjukkan kepeloporannya dalam menerima unsur serapan. Bagi perkembangan bahasa, hal itu sama sekali tidak merugikan. Namun, penggunaan bahasa dalam pers dianjurkan untuk menggali kekayaan bahasa dari bahasa serumpun dan bahasa daerah.
4. Selain penguasaan bahasa, minat terhadap sastra hendaknya menjadi bahan pertimbangan khusus dalam penerimaan calon wartawan.
5. Setiap media massa dianjurkan untuk mengangkat redaktur khusus bahasa agar pemantauan dan evaluasi atas bahasa yang dipergunakan dapat dilakukan secara lebih efektif.”

Sulit dipungkiri, media massa punya peran dominan dalam mengarahkan perkembangan bahasa masyarakat. Sikap para ahli bahasa yang belakangan memaklumi bahasa jurnalistik sebagai laras bahasa Indonesia tampak lebih bijaksana, mengingat wartawan atau jurnalis juga senantiasa mengasah kemampuan berbahasa mereka. Sebutlah misalnya, Sepuluh Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers yang dirumuskan dan disepakati setelah berulang kali diadakan Karya Latihan Wartawan (KLW).

Pedoman itu dikemukakan ketua asosiasi tunggal wartawan waktu itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Harmoko, dalam Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta, 1988. Sepuluh Pedoman Pemakaian Bahasa dalam Pers itu adalah:
1. Wartawan hendaknya secara konsekuen melaksanakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
Hal ini juga harus diperhatikan oleh para korektor, oleh karena kesalahan paling menonjol dalam suratkabar sekarang ini adalah kesalahan ejaan.
2. Wartawan hendaknya membatasi diri dalam singkatan atau akronim.
Kalaupun ia harus menulis akronim maka satu kali dia harus menjelaskan tanda kurung kepanjangan akronim tersebut supaya tulisannya dapat dipahami oleh khalayak ramai.
3. Wartawan hendaknya jangan menghilangkan imbuhan, bentuk awal atau prefiks. Pemenggalan kata awalan me dapat dilakukan dalam kepala berita mengingat keterbatasan ruangan.
Akan tetapi pemenggalan jangan dipukulratakan sehingga merembet pula ke dalam tubuh berita.
4. Wartawan hendaknya menulis dengan kalimat-kalimat pendek. Pengutaraan pikirannya harus logis, teratur, lengkap dengan kata pokok, sebutan dan kata tujuan (subjek, predikat, objek).
Menulis dengan induk kalimat dan anak kalimat yang mengandung banyak kata, mudah membuat kalimat tidak dapat dipahami, lagi pula prinsip yang harus dipegang ialah “satu gagasan atau satu ide dalam satu kalimat”.
5. Wartawan hendaknya menjauhkan diri dari ungkapan klise atau stereotype yang sering dipakai dalam transisi berita seperti kata-kata “sementara itu”, “dapat ditambahkan”, “perlu diketahui”, “dalam rangka”, “selanjutnya” dan lain-lain.
Dengan demikian dia menghilangkan monotoni (keadaan atau bunyi yang selalu sama saja) dan sekaligus dia menerapkan ekonomi kata dan penghematan dalam bahasa.
6. Wartawan hendaknya menghilangkan kata mubazir seperti “adalah” (kata kerja kopula), “telah” (petunjuk masa lampau), “untuk” (sebagai terjemahan to dalam bahasa Inggris), “dari” (sebagai terjemahan of dalam hubungan milik), “bahwa” (sebagai kata sambung) dan bentu jamak yang tidak perlu diulang.
7. Wartawan hendaknya mendisplinkan pikirannya supaya jangan campur aduk dalam satu kalimat bentuk pasif (di) dengan bentuk aktif (me).
8. Wartawan hendaknya menghindari kata-kata asing dan istilah-istilah yang terlalu teknis dan ilmiah dalam berita.
Kalaupun terpaksa digunakan, satu kali harus dijelaskan pengertian atau maksudnya
9. Wartawan hendaknya sedapat mungkin menaati kaidah tata bahasa.
10. Wartawan hendaknya mengingat bahasa jurnalistik ialah bahasa yang komunikatif dan spesifik sifatnya, dan karangan yang baik dinilai dari tiga aspek, yaitu isi, bahasa dan teknik persembahan.

Sejumlah referensi yang terbit belakangan, bahkan jelas menyebut bahasa Indonesia jurnalistik sebagai laras ataupun ragam bahasa Indonesia. Laras bahasa adalah kesesuaian di antara bahasa dan pemakaiannya, sedangkan ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara dan orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan.

Definisi yang rumit, namun intinya adalah bahasa Indonesia jurnalistik telah diakui sebagai bahasa yang digunakan oleh kelompok profesi atau kegiatan dalam bidang tertentu. Dalam hal ini, yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran.
Bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan jurnalis atau media massa untuk menyampaikan informasi. Sesuai fungsi media massa, yakni fungsi informasi (to inform), mediasi (to mediate), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain) dan kontrol sosial atau koreksi (to influence), bahasa jurnalistik senantiasa menyandang ciri khas yang memudahkan penyampaian berita dan komunikatif.

Sebagaimana dikemukakan Marshall McLuhan dalam Understanding Media, 1964, pemilik ataupun pengelola media selalu dengan sekuat tenaga memberikan apa yang diinginkan khalayak, karena mereka merasa bahwa kekuatan mereka berada pada mediumnya dan tidak pada pesan atau programnya. Keberpihakan yang pekat kepada khalayak itulah yang membuat media mempunyai tata bahasanya sendiri, yakni seperangkat peraturan yang erat kaitannya dengan berbagai alat indra dalam hubungannya dengan penggunaan media. Inilah yang membuat bahasa jurnalistik menjadi sedikit berbeda dengan bahasa Indonesia baku.

Karena penyajian berita yang senantiasa memenuhi unsur penting (significance), besar (magnitude), tepat waktu (timeliness), kedekatan (proximity), tenar (prominance) dan menyentuh rasa kemanusiaan (human interest), ragam bahasa jurnalistik pun senantiasa dipilih sesuai kebutuhan memberi informasi yang padat, singkat, jelas dan menarik. Namun sebagaimana dikatakan McLuhan, bahwa media mempunyai tata bahasanya sendiri, maka bahasa jurnalistik media cetak berbeda dengan bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Masing-masing berkembang sesuai karakteristik jenis medianya.

Bahasa jurnalistik media radio misalnya, karena beritanya dituntut menciptakan theater of mind di benak pendengar, harus cukup memberikan modal kepada pendengarnya untuk membayangkan fakta-fakta yang disiarkan. Dan karena besifat sekilas dengar, tentu harus lugas tanpa berpanjang kata karena harus menyesuaikan dengan kemampuan manusia menangkap penuturan penyiar.
Sedangkan bahasa jurnalistik media cetak, kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga perlu senantiasa mempertimbangkan keterbatasan space. Penghematan karakter huruf dan efektifitas penyampaian paparan menjadi kunci utamanya, kecuali demi menciptakan warna dalam karya jurnalistik tersebut.

Goenawan Mohamad dalam makalah Bahasa Indonesia Jurnalistik menguraikan “Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih efisien. Dengan efisien saya maksudkan lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting buat setiap reporter, dan lebih penting lagi buat editor.”

GM lalu mengutarakan beberapa fasal yang diharapkannya bisa diterima dalam usaha efisiensi penulisan, yakni hemat, baik penghematan terkait unsur kata maupun kalimat. Ada pula rumusan lain dari Sumadiria yang menyebutkan 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media, yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika.

Sedangkan Rosihan Anwar menyebut bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik menurut dia memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Bahasa jurnalistik didasarkan pada bahasa baku, tidak menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa, memperhatikan ejaan yang benar, dalam kosa kata bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat.

JS Badudu yang menyebutnya sebagai bahasa surat kabar mensyaratkan ciri bahasa yang singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa surat kabar mengingat bahasa surat kabar dibaca oleh lapisan-lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Mengingat bahwa orang tidak harus menghabiskan waktunya hanya dengan membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar.

Tak ada perbedaan mendasar dalam paparan pengertian bahasa jurnalistik. Bahasa jurnalistik mengedepankan ekonomi kata dan kalimat namun harus mudah dimengerti oleh khalayak dan mengikuti kaidah tata bahasa yang berlaku. Karena berpihak kepada khalayak, maka bahasa jurnalistik yang dikembangkan media massa satu dengan yang lain mungkin saja berbeda. Media massa di Bali misalnya akan menghindari kata celak, kenyang dan butuh karena konotasi negatif akibat bahasa daerah setempat. Sementara itu, media massa di Jawa perlu senantiasa menghindari logika bahasa yang tak ekonomis akibat terjemahan langsung kata sing atau nek yang dianut bahasa daerah setempat.

Sebaliknya demi mengakrabkan diri dengan khalayak, bukan tak mungkin pula media massa di suatu daerah justru memilih diksi yang lebih familier bagi khalayak. Alih kode atau campur kode bisa dilakukan dengan menuliskan secara miring dengan disertai terjemahannya. Alih kode adalah penggunaan bahasa lain atau variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain atau karena adanya partisipan lain. Secangkan campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. [] Bison

Sabtu, 12 September 2009

Berkenalan dengan berita

Pada dasarnya, kegiatan pokok dalam jurnalisme adalah mengumpulkan fakta untuk kemudian disampaikan dalam suatu laporan. Laporan tentang kejadian atau peristiwa itulah yang sehari-hari disebut berita atau kabar. Berita yang dibuat para reporter dan selanjutnya disunting para redaktur, itu bisa berupa tulisan, foto, suara atau gambar yang biasa dibaca, didengar dan dilihat khalayak lewat media massa.

Dalam menyampaikan laporan kepada khalayak itu, dibutuhkan keterampilan mencari dan mencatat fakta yang merupakan bahan dasar dalam kerja jurnalistik, serta keterampilan membuat berita. Untuk terampil mengumpulkan bahan berita dan menyampaikannya kepada pembaca, tak bisa tidak hanya bisa dicapai dengan berlatih. Namun sebelumnya, seorang jurnalis harus pula menguasai pengetahuan tentang teknik pengumpulan fakta, unsur-unsur pembentuk suatu berita dan penyampaiannya kepada pembaca. Harus pula dipahami tentang ragam berita yang selama ini telah dirumuskan dan disepakati secara luas oleh para peneliti dan pekerja pers.

Fakta bisa diperoleh dengan cara melakukan pengamatan (observasi) dan wawancara. Observasi dilakukan apabila jurnalis secara langsung menghadapi fakta sehingga dapat menangkap sendiri dengan inderanya. Sedangkan wawancara dilakukan apabila dia harus menangkap latar belakang fakta mengenai pengalaman, pendapat dan cita-cita orang lain.

Setelah fakta diperoleh, barulah seorang jurnalis bisa menyampaikan berita dengan merangkai kembali fakta yang telah diperolehnya itu dalam kata-kata atau gambar-gambar. Namun, tidak setiap kejadian bisa dijadikan berita. Ada ukuran-ukuran tertentu yang harus terpenuhi untuk menjadikan suatu kejadian atau peristiwa itu bernilai untuk diberitakan dan dimuat media massa. Oleh pers Indonesia, ukuran itu lazim disebut layak berita.

Layak berita atau nilai kejadian, menjadi persyaratan awal dan utama sebelum seorang reporter menulis berita jurnalistik. Sebab, tidak ada gunanya menulis berita yang tidak bernilai untuk dimuat media massa. Hal yang menjadikan suatu kejadian atau peristiwa itu layak berita adalah adanya unsur penting dan menarik dalam kejadian tersebut. Karena setiap orang mempunyai konsep atau persepsi yang berbeda-beda tentang penting dan menariknya suatu kejadian, maka dalam ilmu jurnalistik terdapat rambu-rambu atau unsur yang dipakai untuk menyaring apakah fakta itu layak berita untuk dimuat atau tidak, yaitu unsur penting (significance), besar (magnitude), waktu (timeliness), kedekatan (proximity), tenar (prominance) dan menyentuh rasa kemanusiaan (human interest). Jika salah satu unsur di atas sudah dipenuhi, maka sebuah kejadian sudah cukup layak untuk diberitakan dan semakin lengkap unsur yang terpenuhi maka semakin layaklah berita itu.

Fakta-fakta yang dikumpulkan untuk diracik menjadi berita biasanya baru dianggap lengkap apabila memenuhi enam pertanyaan pokok, meliputi: apa, siapa, mengapa, di mana, bilamana dan bagaimana. Untuk menyebutkan kelengkapan berita itu, kalangan pers lebih sering menggunakan istilah 5W+1H alias what, who, why, where, when dan how. Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu adalah modal bagi reporter untuk mengumpulkan fakta seluas-luasnya. Pasalnya setiap kejadian akan mengandung jawaban dari keenam pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu tidak hanya bisa dikemukakan sekali saja dalam setiap kegiatan pencarian fakta tetapi berulang-ulang dan sambung menyambung.

Ada pula persyaratan lain yang biasa diterapkan jurnalis dalam mendapatkan fakta, yaitu tuntutan untuk selalu mencari fakta-fakta yang faktual, aktual dan akurat. Faktual artinya fakta itu harus berdasarkan fakta, bukan fiktif atau direka-reka oleh penulis. Aktual, maksudnya adalah fakta itu harus masih hangat dibicarakan atau ada kaitannya dengan masalah yang sedang hangat dibicarakan. Sedangkan akurat, artinya fakta yang disajikan dalam berita harus persis seperti adanya, tidak dilebih-lebihkan ataupun dikurangi.

Syarat aktual, terkait erat dengan satu pokok pikiran dalam wujud kalimat atau alinea yang memperlihatkan kaitan masalah yang diungkapkan dalam tulisan dengan situasi mutakhir masyarakat. Hal itu lazim disebut news peg atau cantelan. Dengan demikian, berita aktual tidak selalu harus diangkat dari kejadian yang baru saja terjadi, tetapi mungkin juga diangkat dari satu fenomena yang terkait dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Sebagai patokan penyampaian fakta kepada khalayak pembaca, sebagian pekerja pers mengenal pula rumusan ABC alias accurate, balance dan clear. Maksudnya, fakta yang disampaikan sebagai berita perlu senantiasa tepat seperti adannya, penyampaiaannya dalam wujud berita harus selalu berimbang antara pihak yang mungkin berseberangan, serta bersih dari kepentingan pihak-pihak yang mungkin berbeda pendapat.

Dalam penulisan berita, seorang jurnalis perlu pula senantiasa memperhatikan news peg (cantelan), sehingga pembaca media massa tidak akan bertanya-tanya alasan diturunkannya satu tulisan tertentu. Hal itu tidak hanya berlaku bagi berita, tetapi juga untuk jenis artikel lain. Bagi penulis, pentingnya news peg dalam menulis berita pada akhirnya berpengaruh pada pemilahan bahan berita dan pemilihan model penulisan. Untuk pemilahan dan pemilihan itu, berita lalu bisa dibedakan menjadi: berita yang didasari peristiwa momentum, berita lanjutan (follow-up news), berita berdasarkan peristiwa teragenda, dan berita berdasarkan peristiwa fenomenal.

Jenis berita pertama sampai ketiga, tidak menyebabkan penulis berpayah-payah menggali news peg. Namun untuk berita berdasarkan peristiwa fenomena, penulis perlu memiliki kejelian dan kepekaan agar mendapatkan news peg yang tepat. Kemampuan menggali news peg yang tepat itu, adalah syarat mutlak bagi penulisan feature dan ulasan mendalam, jenis berita yang tepat disajikan pada media yang tidak terbit setiap hari.

Kelengkapan, kelayakan berita maupun faktual, aktual serta akurasi fakta berlaku untuk untuk semua ragam berita yang dikenal di media massa, sebab syarat-syarat itulah yang membedakan berita dengan ragam muatan lain di media massa. Secara umum, media massa cetak mengenal adanya tiga ragam berita, yaitu berita langsung (straight news), berita ringan (soft news) dan berita kisah (news feature). Masih ada ragam berita lain yang dikenal media massa, namun pada dasarnya ketiga ragam itulah yang merupakan pangkal tolak untuk menulis dalam kegiatan jurnalistik.

Pada dasarnya, ketiga ragam berita tersebut dibedakan berdasarkan strukturnya. Struktur yang tepat untuk melaporkan suatu peristiwa, dipastikan ketika penulis akan meramu fakta-fakta yang diperolehnya di lapangan untuk dijadikan berita. Setiap fakta yang bakal disampaikan kepada masyarakat dapat dibedakan atas unsur penting dan menariknya. Peristiwa yang dinilai penting dan harus segera diketahui masyarakat, umumnya disampaikan melalui berita langsung. Sedangkan fakta yang dianggap menarik namun tidak harus segera diketahui masyarakat, umumnya disampaikan melalui berita ringan atau feature. Dalam situasi tertentu, berita langsung dan ringan bisa saling melengkapi.

Berpegang pada teori jurnalistik yang dianut secara luas, penulisan berita langsung mengacu pada model piramida terbalik. Pada model piramida terbalik itu, segala sesuatu yang terpenting senantiasa diletakkan di bagian awal tulisan. Karena dibuat untuk menyampaikan kejadian-kejadian yang harus diketahui dengan segera oleh pembaca, maka lead atau kepala berita pada straight news sudah harus mampu memberikan informasi maksimal kepada pembaca. Dengan demikian pembaca tidak perlu membaca keseluruhan berita itu untuk mengetahui fakta yang disampaikan.

Sementara itu, penulisan berita ringan menganut prinsip yang hampir sama dengan berita langsung. Hanya saja berita jenis ini tidak terlalu mementingkan unsur pentingnya suatu peristiwa. Jenis berita ini bisa dimanfaatkan untuk melaporkan peristiwa yang menyentuh sisi manusiawi suatu kejadian penting. Kejadian pentingnya sendiri ditulis sebagai berita langsung, sementara unsur manusiawinya bisa ditulis sebagai soft news.

Sedangkan untuk berita kisah atau feature lebih merupakan tulisan mengenai kejadian yang dapat menyentuh perasaan ataupun menambah pengetahuan pembaca. Berita ini tidak terikat dengan aktualitas, pasalnya nilai utamanya adalah menariknya suatu kejadian. Sedangkan yang sifatnya kekinian tidak diutamakan dalam penulisan berita jenis ini.

Untuk memudahkan menulisnya, struktur berita biasa disusun berdasarkan urutan penulisannya, mulai dari bagian judul, lead atau teras/kepala berita alias intro atau pembuka, tubuh (body) berita atau detail, dan penutup alias ending ada juga yang menyebutnya sebagai leg. Pada berita langsung diterapkan model penulisan yang sangat berbeda dengan feature meski strukturnya tak banyak berbeda.

Ibarat bagian buku, judul suatu berita adalah sampul depannya yang menarik perhatian calon pembaca untuk meneliti layak atau tidaknya buku itu dibaca. Atau ibarat toko, maka judul adalah semacam desain eksterior yang menarik minat calon pembeli untuk masuk dan melihat-lihat isi toko.

Karena itu, judul yang baik harus mampu menarik minat calon pembaca hanya dengan sekali lihat, tanpa bersifat menipu atau memanipulasi fakta. Keterbatasan ruang yang biasa disediakan dalam tampilan media massa juga menuntut agar judul dibuat sesingkat mungkin tanpa mengabaikan kepentingan informatifnya.

Setelah calon pembaca buku mulai menelaah lebih lanjut atau calon pembeli memasuki toko, maka adalah tugas lead atau teras berita untuk berfungsi laksana halaman ringkasan isi buku atau etalase toko, yaitu mempertahankan minat pembaca atau pengunjung toko itu untuk tetap menelaah isi buku atau memperhatikan satu per satu barang yang dijual di toko tersebut.

Itu pasalnya, lead yang ideal mampu menyampaikan bagian paling menarik atau penting dari fakta yang diuraikan di dalam tubuh berita sehingga pembaca merasa ingin tetap membaca berita tersebut hingga tuntas. Teras berita perlu pula mengakomodasi kepentingan pembaca yang tak punya cukup waktu untuk membaca seluruh bagian berita, karena itu teras berita harus pula mencerminkan inti informasi yang disampaikan dalam berita tersebut.

Dalam penulisan berita langsung yang menggunakan model penulisan piramida terbalik, unsur layak berita yang paling kuat ditulis menjadi teras berita. Teras berita dapat ditulis dengan kalimat deklaratif dari unsur yang paling penting itu. Dengan demikian, ide atau gagasan pokok yang dikandung paragraf-paragraf setelah paragraf pembuka hanya merupakan penjelasan lebih lanjut dari ide atau gagasan yang termuat pada paragraf lead tersebut.

Mulanya, pola piramida terbalik muncul karena tingginya biaya pengiriman lewat telegram atau telex. Untuk menghemat biaya, pengiriman berita mendadak semacam itu hanya dilakukan terhadap bagian terpenting saja. Pola piramida terbalik juga memudahkan dalam pemotongan berita akibat terbatasnya space.

Sebab kalaupun setelah dipotong, berita itu hanya tersisa satu paragraf maka berita itu tetap bermakna. Dengan membuat paragraf lead yang mampu memberikan informasi maksimal kepada pembaca maka tujuan penulisan berita langsung untuk menceritakan berita secara cepat pun tercapai.

Pada perkembangannya teras berita yang semata-mata mengandung inti pokok berita mulai ditinggalkan. Meski tetap menggunakan struktur piramida terbalik, teras berita juga dituntut untuk mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca sehingga menuntaskan membaca hingga akhir tulisan. Bahkan struktur piramida terbalik itu pun lalu berkembang menjadi struktur piramida bertumpuk.

Fakta-fakta yang disampaikan dalam tulisan dengan struktur piramida terbalik yang bertumpuk itu saling berkait dan sambung menyambung sehingga informasi yang disajikan lewat setiap paragraf dapat memiliki kandungan yang hampir sama penting. Untuk memudahkan pembaca dalam memilah informasi yang disampaikan, digunakan cross head atau sub judul yang terletak di tengah berita. Namun pada perkembangannya, cross head juga difungsikan sebagai pengganjal tampilan halaman.

Sedangkan berita ringan dapat ditulis dengan dua struktur yang berbeda. Pertama, kalau berita ringan itu merupakan sampiran dari peristiwa penting yang disampaikan melalui berita langsung, maka berita ringan ditulis dengan struktur piramida terbalik juga dengan menonjolkan unsur menariknya.

Namun ketika berita ringan ditulis berdasarkan kejadian yang berdiri sendiri, maka prinsip penulisannya tak terikat pada teknik piramida terbalik. Struktur penulisan berita kisah jenis ini lebih bebas. Hal yang menarik, bisa ditempatkan pada bagian tengah tulisan, bahkan bisa pula pada akhir tulisan.

Seperti berita ringan yang didasarkan pada kejadian tersendiri, berita kisah atau feature juga tidak terikat pada struktur piramida terbalik. Meski demikian, urutan struktur berita tetap perlu diperhatikan keberadaannya. Karena cara penulisannya tidak selugas berita langsung, bagian yang paling penting dari berita kisah juga tidak harus diletakkan pada bagian awal berita. Tetapi teras feature tetap mengemban tugas memuat sari informasi sehingga pembaca tertarik untuk mencermatinya.

Setelah teras berita berhasil menggoda perhatian pembaca, maka urutan berikutnya dalam struktur berita itu harus tetap ditangani sehingga feature tetap menarik untuk dicermati. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, maka informasi dalam feature --seperti juga berita kisah-- bisa disampaikan dengan gaya bahasa prosais, khususnya pada bagian tulisan yang memaparkan suasana. []

Berkenalan dengan media massa

Keseharian manusia modern, sepertinya tak bisa lepas dari media massa. Dari waktu ke waktu, surat kabar, radio, televisi ataupun media online melalui international network (Internet) dan telepon seluler menemani manusia modern dalam setiap sendi kehidupannya. Dengan kata lain, setiap manusia modern semakin tak bisa lepas dari peran pekerja pers pengelola media massa itu.

Sesuai fungsi media massa, umumnya pekerja pers tetap setia pada lima fungsi utama lembaga profesi mereka, yakni fungsi informasi (to inform), mediasi (to mediate), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain) dan kontrol sosial atau koreksi (to influence).

Di samping lima fungsi utama pers yang berlaku secara universal, ada pula lima karakteristik atau ciri-ciri spesifik pers yang juga senantiasa sama, yakni periodesitas, publisitas, aktualitas, universalitas, dan objektivitas. Kendati memiliki fungsi dan karakteristik umum yang sama, namun dalam perkembangannya, pers diklasifikasikan dalam tiga tipologi, yakni pers berkualitas (quality newspaper), pers populer (popular newspaper) dan pers kuning (yellow newspaper).

Penerbitan pers berkualitas biasanya memilih cara penyajian yang etis, moralis, intelektual dan menghindari pola dan penyajian pemberitaan yang bersifat emosional frontal. Pers jenis ini sangat meyakini pendapat: kualitas dan kredibilitas media hanya bisa diraih melalui pendekatan profesionalisme secara total. Produknya ditujukan untuk masyarakat kelas menengah atas.

Sedangkan pers populer sangat menekankan nilai serta kepentingan komersial. Pers jenis ini lebih banyak dimaksudkan untuk memberikan informasi dan rekreasi (hiburan). Biasanya produk pers jenis ini adalah kalangan menengah-bawah. Sedangkan pers kuning mengeksploitasi warna tanpa terlalu setia pada kaidah baku jurnalistik, bahkan berita pers kuning tak selalu berpijak pada fakta dan bisa saja didasari ilusi, imajinasi, dan fantasi. Pers kuning yang kerap menggunakan pendekatan jurnalistik SCC (sex, conflict, crime) ini biasanya ditujukan bagi masyarakat pembaca kelas bawah.

Di samping bisa diurai berdasarkan kelas sosial konsumen masing-masing media massa, berdasarkan perkembangan pers itu para ahli dan praktisi jurnalistik ataupun periklanan lalu kerap membagi pula media massa berdasarkan wilayah edar.
Maka dikenallah media massa komunitas, media massa lokal, media massa regional, media massa nasional, dan media massa internasional.

Kategorisasi pers berdasarkan wilayah edar ini kerap tak jelas karena mengalami pasang surut seiring minat konsumen dan berbagai faktor lain, termasuk perkembangan teknologi dan terbukanya akses interaksi konsumen. Tengok saja banyaknya ”media massa” di jejaring internasional (international network/internet) yang sejatinya melaksanakan fungsi jurnalistik dan diakses publik di seantero planet Bumi.

Reaksi positif publik terhadap jurnalistik interaktif yang terwujud dalam bentuk forum-forum perbincangan di Internet bahkan belakangan ini menyeret media massa cetak yang relatif mapan melakukan perilaku serupa. SOLOPOS misalnya kini memperkenalkan rubrik Ruang Publik sebagai kelanjutan kesuksesan merintis rubrik Kriing SOLOPOS di Indonesia.

Citizen journalism pada community newspaper semacam yang dilakukan SOLOPOS itu diyakini bakal berkembang pada masa mendatang. Model ”jurnalistik” semacam ini erat kaitannya dengan prinsip proximity atau kedekatan dalam jurnalistik. Masyarakat cenderung tertarik mengikuti berita yang memiliki kedekatan dengan diri mereka. Buntutnya, media massa bakal diterbitkan dengan wilayah edar dan bahasan yang semakin sempit.

Wong Solo misalnya, tidak hanya butuh SOLOPOS yang menyajikan informasi aktual global maupun lokal secara general, tetapi juga perlu media pendamping lain. Sebagian kalangan mungkin butuh tambahan tabloid olahraga karena “gila” sepakbola, sebagian lainnya mungkin memilih tambahan majalah wanita sebagai panduan berperilaku, ada juga yang merasa butuh tambahan majalah terbitan organisasi profesi mereka agar tak tertinggal info perkembangan terakhir profesi itu.

Termasuk juga dalam hal ini, media komunikasi antarsiswa dalam suatu sekolah, ataupun media komunitas lain untuk kalangan pembaca yang terbatas. Dalam sejarah penerbitan pers di Indonesia, media massa jenis ini oleh Orde Baru dikelompokkan sebagai penerbitan khusus. Berbeda dengan penerbitan umum yang wajib dilengkapi surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), penerbitan khusus pada masa Orde Baru cukup dilengkapi surat tanda terdaftar (STT).


Pengelola media massa pada umumnya terpilah dalam dua divisi, yakni redaksi dan usaha. Redaksi bertugas menyiapkan naskah sesuai kebutuhan pembaca. Divisi usaha bertanggung jawab terhadap berbagai aspek lain yang menjamin berlangsungnya operasional penerbitan, seperti distribusi atau sirkulasi dan penyediaan dana operasional penerbitan melalui penjualan space media untuk memuat iklan. Di divisi ini juga bernaung bidang-bidang pendukung operasional perusahaan seperti yang mengurusi sumber daya manusia, dukungan perlengkapan dan operasional kantor.

Divisi Usaha biasanya dipimpin seorang pemimpin perusahaan, sedangkan divisi redaksi dipimpin pemimpin redaksi. Keduanya bernaung di bawah seorang pemimpin umum. Dalam tugas keseharian mengatur berlangsungnya liputan, pemimpin redaksi yang bertanggung jawab atas muatan media massa biasanya dibantu redaktur pelaksana dan koordinator liputan serta sekretariat redaksi. Redaktur pelaksana biasanya membawahi sejumlah redaktur yang bertanggung jawab memilih tema dan menyunting naskah. Para redaktur itu biasanya membawahi sejumlah reporter yang mencari berita di lapangan.
[]

Rabu, 02 September 2009

Berkenalan dengan jurnalistik


Kamus Besar Bahasa Indonesia
memaknai ”jurnalistik” sebagai ”yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran”. Sedangkan ”jurnalisme” adalah ”pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit dan menerbitkan berita dalam surat kabar dan sebagainya, serta kewartawanan.” Sementara itu, Ensiklopedi Indonesia memaknai ”jurnalistik” sebagai ”bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada.”

Sedangkan ensiklopedia elektronik Wikipedia mencatat ”jurnalisme” sebagai ”bidang disiplin dalam mengumpulkan, memastikan, melaporkan, dan menganalisis informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk tren, masalah dan tokoh.”
Berbagai referensi mengurai jurnalistik dalam sejumlah sudut pandang berbeda. Ada yang memaknainya secara harfiah berdasarkan akar kata “du jour” pada bahasa Yunani yang berarti ”catatan atau laporan harian.”

Ada pula yang menariknya dari kata ”jurnal” atau ”journal” yang berarti ”laporan” atau ”catatan,” serta kata ”jour” yang dalam bahasa Prancis yang berarti “hari”. Pandangan itu lalu dihubung-hubungkan dengan peraturan Julius Caesar pada zaman Romawi Kuno sekitar tahun 50 SM, agar kegiatan-kegiatan Senat diumumkan kepada khalayak setiap hari dengan cara ditempel pada semacam papan pengumuman yang disebut dengan Acta Diurna.

Dengan referensi itu, kegiatan jurnalistik memang terkesan sangat tua umurnya. Bahkan keberadaan Nusantara pun kali pertama dikabarkan kepada masyarakat luar wilayah ini pada masa protosejarah melalui kegiatan serupa oleh Pendeta I-Tsing pada abad ke-6 M. Langkah mirip dilakukan Mpu Prapanca pada tahun 1365 melalui Negara Kertagama, ini judul lontar yang mencatat kegiatan Raja Majapahit, Hayam Wuruk, saat melakukan wisata ziarah ke peninggalan leluhurnya. Dalam lontar itu, disebutkan pula nama-nama daerah yang menjadi wilayah kekuasaan raja Majapahit.

Seperti halnya Acta Diurna-nya Julius Caesar yang semula harus didatangi pembaca namun belakangan diperbanyak dengan daun papirus dan distribusikan ke seantero wilayah jajahan Romawi, lontar Negara Kertagama juga mengalami mobilitas. Peneliti Belanda JLA Brandes kali pertama menemukan lontar Negara Kertagama itu di Puri Cakranegara Lombok, bukan di Jawa Timur yang diyakini para arkeolog dan sejarawan sebagai lokasi pusat Kerajaan Majapahit.
Lontar serupa selanjutnya juga ditemukan di sejumlah lokasi di Bali.

Meskipun Acta Diurna ataupun Negara Kertagama telah mengalami mobilitas demi mengabarkan kondisi pusat pemerintahan ke wilayah kerajaan bawahan, namun surat kabar tulis tangan yang kali pertama dicatat sejarah persuratkabaran adalah Gazzetta di Vanesia yang terbit sekitar tahun 1536.

Sedangkan jurnalisme modern sesuai definisi dalam kamus maupun ensiklopedia, berkait erat dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg tahun 1454.
Berdasarkan paparan di atas, pengertian jurnalistik modern ini dapat disimpulkan tak bisa dipisahkan dengan penulisan karya jurnalistik media cetak, kendati belakangan media komunikasi juga berwujud radio, televisi dan internet. Pun demikian dengan di Indonesia, awal mula kegiatan jurnalistik modern tak bisa dipisahkan dari penerbitan surat kabar yang dicetak secara massal.

Sedangkan perkembangan kegiatan jurnalistik modern di Indonesia diawali oleh Kolonialis Belanda pada 1744 dengan terbitnya Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen di Batavia. Sedangkan surat kabar bagi kalangan pribumi Mingguan Bromartani baru terbit 1854 di Solo. Sebagaimana wilayah lain dunia dan masa penjajahan sebelumnya, perkembangan jurnalistik setelah Republik Indonesia merdeka sangat dipengaruhi politik pemerintahan.

Pada awal Indonesia merdeka hingga Orde Baru, kebebasan jurnalistik menghadapi berbagai kekangan, sederet surat kabar dibredel, hingga akhirnya mendapatkan kebebasan saat gelombang semangat Reformasi menggelora. Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis setelah Departemen Penerangan dibubarkan saat BJ Habibie berkuasa. UU Pokok Pers No 21/1982 diganti dengan UU Pokok Pers No 40/1999. Siapapun bisa menerbitkan dan mengelola pers.

Kebebasan pers ini awalnya disikapi sinis sebagian kalangan yang menganggap fenomena itu sebagai euforia demokrasi. Namun perkembangan teknologi belakangan justru membalik keadaan, aktivitas jurnalisme kini bahkan bisa terwujud di tangan para blogger sekalipun.

Tribuana Said dari Lembaga Pers dr Soetomo bahkan menganggap UU Pokok Pers No 40/1999 memerdekakan pers Indonesia yang telah terkekang 2,5 abad. Anggapan itu tak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa kegiatan jurnalistik di Indonesia memang sudah terkekang bahkan sejak Bataviasche Nouvelles terbit. Selanjutnya, izin menerbitkan media massa tak pernah gampang diperoleh bahkan aktivitas penerbitan pers selalu saja berseberangan dengan penguasa.

Maklum saja, pemikiran yang diterima masyarakat melalui tulisan —baik melalui buku ataupun surat kabar— senantiasa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini publik. Gagasan tertulis itu mampu menjadi motivator masyarakat untuk berbuat lebih baik, termasuk menyemangati masyarakat berjuang memerdekakan diri seperti yang dilakukan pers Indonesia pada masa penjajahan dan setiap fase perjuangan bangsa berikutnya.


Pengertian jurnalistik


Tatkala kegiatan jurnalistik berperan sebagai salah satu sendi kehidupan masyarakat, mulai muncullah kebutuhan untuk mempelajarinya. Untuk kali pertama, jurnalistik muncul dalam kehidupan akademis di Universitas Bazel Swiss pada tahun 1884 dengan nama Zeitungskunde yang lalu berubah menjadi Zeitungswissenchaft atau Ilmu Persuratkabaran.

Seiring perkembangan media komunikasi massa, seusai Perang Dunia II istilah Publisistik lebih populer di kalangan akademisi Eropa, sedangkan Jurnalisme mulai dikembangkan di Amerika Serikat mulai 1690. Dari waktu ke waktu selanjutnya, pemikiran para akademisi itupun lebih mendominasi kepercayaan masyarakat atas pengertian jurnalistik dibandingkan para praktisinya.

Secara konseptual, jurnalistik menurut Kamus Jurnalistik karya ASM Romli, setidaknya dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yakni sebagai proses, teknik dan ilmu. Sebagai proses, jurnalistik adalah aktivitas mencari, mengolah, menulis, dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Aktivitas ini dilakukan oleh wartawan atau jurnalis.

Sebagai teknik, jurnalistik adalah keahlian atau keterampilan menulis karya jurnalistik --baik itu berita, artikel opini ataupun advertorial-- termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan seperti reportase atau peliputan peristiwa dan wawancara. Sedangkan sebagai ilmu, jurnalistik adalah bidang kajian mengenai pembuatan dan penyebarluasan informasi (peristiwa, opini, pemikiran, ide) melalui media massa.

Jurnalistik termasuk ilmu terapan yang dinamis dan terus berkembang sesuai perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. Sebagai ilmu, jurnalistik termasuk dalam bidang kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi kepada orang lain dengan maksud memberitahu, mempengaruhi, atau memberikan kejelasan.

Sementara itu jika dipandang secara praktis, jurnalistik adalah proses pembuatan informasi atau berita dan penyebarluasannya melalui media massa. Dari pengertian ini, jurnalistik memiliki empat komponen, yakni informasi, penyusunan informasi, penyebarluasan informasi dan media massa. Tak berbeda dengan definisi yang dirumuskan para ahli.

F Fraser Bond dalam An Introduction to Journalism
Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati.

Adinegoro
Jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya.

Onong Uchjana Effendy
Teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada masyarakat.



Perkembangan jurnalistik

Meskipun pada awalnya jurnalistik dimaknai sempit sebagai publikasi secara cetak, dewasa ini pengertian tersebut meluas. Karya jurnalistik tak sebatas dimuat media cetak seperti surat kabar, majalah, dan semacamnya, sebab jurnalistik juga meluas pada media elektronik seperti radio dan televisi. Bahkan, surat kabar, radio dan televisi, belakangan tersaingi pula dengan berkembangnya sistem world wide web pada teknologi komputer yang mempopulerkan media internet.

Namun pada akhirnya, surat kabar, radio, televisi dan Internet punya fungsi sendiri-sendiri dalam komunikasi massa. Sebagaimana disimpulkan W Philip Davinson, sosiolog Columbia University, radio mampu memberikan peringatan dini atau alarm kepada masyarakat sehingga cenderung menjadi media pertama yang menyampaikan apa yang terjadi.

Sedangkan televisi sebagai media audio visual tergolong sebagai media yang melibatkan emosi atau involving medium. Sementara itu, media cetak mampu menangani hal-hal yang kompleks dan menyajikan informasi secara lebih lengkap.

Dengan fungsi masing-masing itu, berbagai jenis media massa takkan saling mematikan. Dan kendati setiap jenis media massa menganut teknologi sendiri, namun pekerja jurnalistik pada umumnya tetap setia pada lima fungsi utama lembaga profesi mereka, yakni fungsi informasi (to inform), mediasi (to mediate), pendidikan (to educate), hiburan (to entertain) dan kontrol sosial atau koreksi (to influence).

Di samping lima fungsi utama pers yang berlaku secara universal, ada pula lima karakteristik atau ciri-ciri spesifik pers yang juga senantiasa sama, yakni periodesitas, publisitas, aktualitas, universalitas, dan objektivitas. []