Sabtu, 05 Desember 2009

Jurnalisme sastra

Literary journalism yang berkembang di Amerika Serikat (AS) sebagai genre baru jurnalisme seiring munculnya penganut new journalism, diterjemahkan secara berbeda oleh Septiawan Santana Kurnia dan Andreas Harsono. Klasifikasi genre baru jurnalistik baru itu yang dipicu terbitnya buku antologi berjudul The New Journalism berisi narasi-narasi khas sejumlah jurnalis Amerika Serikat (AS) yang dirangkai Tom Wolfe dan EW Johnson dan terbit pada tahun 1973
Septiawan menejemahkannya menjadi jurnalisme sastra, sedangkan Andreas menyebutnya sebagai jurnalisme sastrawi. Di luar perbedaan istilah itu, literary journalism adalah fenomena baru penyajian fakta yang dipandang Wolfe dan Johnson mencirikan jurnalisme baru. Menurut Wolfe, setidaknya terdapat empat genre dalam new journalisme yang berkembang dalam karya jurnalistik pekerja pers negeri itu pada era 1960-an. Selain literary journalism, ada pula advocay journalism, alternative journalism dan precision journalism.
Pemikiran Wolfe, lengkap dengan sederet berkembangnya penandaan para akademisi terhadap aneka genre jurnalisme yang terbilang membingungkan, ditularkan ke Indonesia oleh Andreas Harsono, peserta program Nieman Fellowship on Journalis di Universitas Harvard. Awal perkenalan itu memunculkan polemik. Ada anggapan, jurnalisme baru yang dirumuskan para akademisi AS itu tak lebih dari penggolongan yang tiada artinya mengingat sejak awalnya, jurnalisme telah mengenal nilai-nilai yang dirumuskan oleh Wolfe.
Polemik itu diawali pertanyaan Andreas terkait tidak berkembangnya jurnalisme sastra di Indonesia dalam dua mailing list yang diikuti banyak pekerja pers dan akademisi terkait. Polemik itu kini dicatat rapi oleh Andreas dalam blognya yang beralamat di http://andreasharsono.blogspot.com/2000/03/mengapa-jurnalisme-baru-ompong-di.html.
Seiring terbitnya buku Jurnalisme Investigasi, Jurnalisme Sastra, Menulis Feature maupun Jurnalisme Kontemporer karya dosen Universitas Islam Bandung, Septiawan Santana Kurnia yang gemar merangkum perkembangan jurnalisme AS lalu membumikannya dengan cita rasa Indonesia, perhatian akademisi Indonesia terhadap new journalism semakin menjadi-jadi. Investigation report dan literary journalism seperti menjadi mahkotanya.
Untuk memahami pemikiran-pemikiran itu, coba tilik kajian yang disusun Idhar Resmadi berdasarkan rangkuman buku Andreas dan Septiawan serta sejumlah sumber lain. Bachtiar Hakim Nitidisastra secara telaten juga merangkum buku Jurnalisme Sastra karya Septiawan dan Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat suntingan Andreas.
Menurut Wolfe, literary journalism berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur wartawan menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail. Di kalangan akademisi dan pekerja pers, genre ini sempat mengalami tarik ulur definisi.
Upaya jurnalis AS menerapkan pola penulisan novel dalam penyusunan fakta sebagai berita ini setidaknya didasari dua alasan. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.
Penganut jurnalisme sastra mengakui, genre itu sejatinya berawal dari feature namun ditulis panjang lebar layaknya novel. Andreas Harsono bahkan sempat menyebut angka 20.000 karakter untuk melaksanakan genre jurnalisme ini. Jika dianut, tentu saja sulit bagi penerbitan pers untuk memuatnya, meski ada juga Hirosima karya John Hersey yang memenuhi satu edisi The New Yorker.
Pola penulisan semacam itu setidaknya membutuhkan kedalaman informasi (depth information). Untuk memenuhinya, reporter harus melakukan pengamatan seluruh suasana, melakukan dialog, memakai sudut pandang (point of view) dan mencari bentuk monolog interior yang bisa digunakan dalam tulisan mereka.
Dalam penyajiannya, literary journalism menurut Wolfe semua fakta disusun menjadi news story yang menampilkan konfigurasi sosial yang meliputi emosi, motif, kejiwaan dan berbagai ciri kemasyarakatan lainnya. Untuk itu setidaknya dibutuhkan empat alat untuk menumbuhkan keunikan karakteristik, yakni penyusunan adegan, dialog, sudut pandang orang ketiga dan mencatat detail.
Demi pencapaian sastrawi dalam penyajian genre jurnalisme ini, Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida bahkan memelesetkan pedoman standar 5W+1H layaknya pola penulisan fiksi. What menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif dan how menjadi narasi.
Para pemikir lain bahkan mengembangkan klasifikasi literary journalism Wolfe menjadi berbagai genre lain. Ada yang menyebutnya sebagai narative reporting, ada juga passionate reporting, sedangkan Pulitzer Prize menyebutnya sebagai explorative journalism.
Meskipun Andreas menyangkal genre ini sama dengan in-depth reporting karena dianggapnya lebih dalam dan tajam, pada kenyataannya sejak bertahun-tahun yang lalu, wartawan Indonesia sudah mengenal in-depth reporting yang menghasilkan berita hasil analisis mendalam yang umumnya juga disajikan dalam wujud feature ber-news story. [] bison