Selasa, 27 Oktober 2009

Elemen Jurnalisme

Bill Kovach dan Tom Rosentiel, penyari pemikiran insan pers Amerika Serikat yang tergabung dalam Committee of Concerned terkait harapan publik atas implementasi jurnalisme, mengawali paparan dengan kesadaran bahwa setiap generasi menciptakan jurnalismenya sendiri, namun tujuannya tetap sama.

Ketika para antropolog mulai membandingkan hasil penelitian pada sejumlah kebudayaan primitif dunia yang masih tersisa, mereka menemukan sesuatu yang tak mereka duga. Mulai dari sekelompok suku di Afrika sampai pulau yang paling terpencil di Samudra Pasifik, orang-orang primitif ini ternyata mempunyai definisi yang sama tentang apa yang mereka sebut berita.

Mereka memiliki jenis gosip sama. Mereka bahkan mencari kualitas yang sama dalam diri si pembawa pesan yang mereka pilih untuk mengumpulkan dan menyampaikan berita. Mereka menginginkan orang yang bisa berlari cepat melintasi bukit, bisa mengumpulkan informasi secara akurat, dan bisa menceritakan ulang dengan memikat.

Para sejarawan sepakat bahwa kesamaan nilai-nilai dasar dalam berita terbukti bertahan dalam perjalanan waktu. Kovach dan Rosentiel pun menyitir pemikiran sejarawan Mitchell Stephens yang menyebutkan, manusia telah bertukar aneka macam berita sepanjang sejarah dan lintas budaya. Namun bagaimana penjelasan konsistensi itu?

Orang mempunyai kebutuhan dalam dirinya -sebuah naluri- untuk mengetahui apa yang telah terjadi di luar pengalaman langsung diri mereka sendiri. Tahu terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak bisa kita saksikan dengan mata sendiri ternyata menghadirkan rasa aman, kontrol diri dan percaya diri.

Namun inti sari pemikiran insan pers Amerika Serikat yang tergabung dalam Committee of Concerned dalam melaksanakan serangkaian upaya untuk menghimpun harapan warga atas penerapan teori-teori jurnalistik itu disebut Kovach dan Rosentiel menyurut dan mengalir seiring waktu.

Menyurut dan mengalirnya prinsip-prinsip yang selama ini disetujui wartawan dan yang diharapkan masyarakat itu tentu tak bisa dilepaskan dari kondisi aktual jurnalisme yang dipengaruhi kepentingan pemilik, kelompok masyarakat tertentu, kelompok mayoritas pembaca dan penguasa. Juga persaingan dagang di kalangan pengelola media massa, serta kemalasan jurnalis seiring kemudahan yang diberikan teknologi dan desakan kebutuhan lain yang bermuara kepada tumpulnya daya kritis jurnalis.

Kendati menyurut dan mengalir, namun prinsip-prinsip yang selama ini disetujui wartawan dan yang diharapkan masyarakat tetap dalam batas tertentu yang mudah dipahami. Prinsip-prinsip itu selanjutnya mereka sebut Sembilan Elemen Jurnalisme, yakni:

1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran

2. Loyalitas utama jurnalisme adalah kepada warga negara

3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi

4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya

5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan

6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi

7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan

8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional

9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.

Kesembilan elemen jurnalisme yang belakangan telah dikembangkan Kovach dan Rosentiel menjadi sepuluh itu dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran

Utama, namun membingungkan. Bahkan seandainya kebenaran hanya didasarkan kepada kejujuran dan fairness (tidak berat sebelah) dan balance (seimbang). Pada kenyataannya upaya wartawan untuk fairness dan balance itu tetap saja subjektif dan dipengaruhi politik media massa.

2. Loyalitas utama jurnalisme adalah kepada warga negara

Elemen ini menjawab pertanyaan, ”Untuk siapa wartawan bekerja?”

Demi menjawabnya, Kovach dan Rosentiel menyarankan pemilik/perusahaan harus menomor satukan warga, pekerjakan manajer bisnis yang juga menomorsatukan warga, tetapkan dan komunikasikan standar yang jelas, kata akhir berita di tangan wartawan, serta komunikasikan standar yang jelas kepada publik.

3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi

Elemen ini mengingatkan prinsip dasar jurnalistik yang mengandalkan fakta sebagai sumber berita, Wartawan tidak pernah menambahi sesuatu yang tidak ada, serta tak pernah menipu audiens. Kovach dan Rosentiel lalu menyarankan insan pers untuk menerapkan prinsip intelektuan dari laporan ilmiah:

- Berlakulah setransparan mungkin tentang metode dan motivasi Anda,

- Andalkan reportase Anda sendiri,

- Bersikaplah rendah hati.

Terkait elemen, “esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi” itu, David Yarnold, redaktur San Jose Mercury News, merumuskan sederet disiplin verifikasi yang meliputi:

- Apakah alinea pertama (lead) sudah cukup didukung oleh alinea-alinea sesudahnya?

- Adakah seseorang telah memeriksa ulang, menelepon, atau menghubungi semua sumber, alamat rumah atau kantor, alamat situs web yang tercantum dalam tulisan? Bagaimana dengan nama dan gelar?

- Apakah materi latar belakang (background) dipahami untuk memahami tulisan selengkapnya?

- Apakah semua pihak yang terlibat dalam tulisan sudah diidentifikasi dan apakah wakil-wakil dari berbagai pihak tersebut sudah dihubungi dan diberi kesempatan bicara?

- Apakah tulisan memihak atau membuat penghakiman yang tak kentara?

- Apakah ada sesuatu yang kurang?

- Apakah semua kutipan akurat dan sandangannya jelas, dan apakah kutipan itu menangkap apa yang sesungguhnya dimaksudkan orang tersebut?

4. Jurnalis harus menjaga independensi dari obyek liputannya

Wartawan sebisa mungkin bersikap independen, tanpa takut dan tanpa tekanan, tanpa konflik kepentingan. Namun, dalam banyak kasus, wartawan tidak bisa independen se-independen-independennya karena bekerja untuk majikan yang punya kekuasaan dan uang.

Jalan keluar untuk kemustahilan itu menurut Kovach dan Rosentiel`adalah, “Jika wartawan/media memiliki hubungan yang bisa dipersepsikan sebagai konflik kepentingan, mereka berkewajiban melakukan full-disclosure tentang hubungan itu.”

Tujuannya adalah agar pembaca waspada dan menyadari bahwa tulisan/liputan itu tidak independen-independen amat.

5. Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen dari kekuasaan

Jurnalis senantiasa dituntut memantau kekuasaan dan menyambung lidah yang tertindas. Prinsip itu kini kerap melenceng karena peran sebagai anjing penjaga (watchdog) yang berlebihan karena lebih ditujukan untuk menyajikan sensasi. Pemantau atas kekuasaan dinilai efektif dengan reportase investigatif.

6. Jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk kritik maupun dukungan warga

Selain harus menyajikan fakta, wartawan harus berpegang kepada standar kejujuran yang sama atau kesetiaan kepada kepentingan publik. Media harus mampu menjadi ajang saling-kritik dan menemukan kompromi. Forum yang disediakan untuk itu harus untuk komunitas seutuhnya, bukan hanya untuk kelompok yang berpengaruh atau yang secara demografi menarik.

7. Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan

Jurnalisme adalah mendongeng dengan sebuah tujuan. Tujuannya adalah menyediakan informasi yang dibutuhkan orang dalam memahami dunia. Tantangan pertama adalah menemukan informasi yang dibutuhkan orang untuk menjalani hidup mereka, dan yang kedua adalah membuatnya bermakna, relevan dan enak disimak. Penulisan jurnalistik yang bagus selalu hasil dari reportase mendalam yang solid, dengan imbuhan detail dan konteks yang mengikat tulisan.

8. Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional

Jurnalisme adalah kartografer (pembuat peta) modern. Ia menghasilkan peta bagi warga untuk mengambil keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. Itulah manfaat dan alasan ekonomi kehadiran jurnalisme. Seperti halnya peta, nilai jurnalisme bergantung kepada kelengkapan dan proporsionalitas.

9. Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya.

Setiap wartawan –dari redaksi hingga dewan direksi– harus punya rasa etika dan tanggung jawab personal –sebuah panduan moral demi menyajikan berita yang akurat, adil, imbang, berfokus pada warga, berpikiran independen dan berani. Upaya itu akan padam dengan sendirinya tanpa adanya atmosfer keterbukaan yang memungkinkan orang menentang asumsi, persepsi dan prasangka orang lain. [] bison

B e r i t a

Kamus Besar bahasa Indonesia memaknai berita sebagai:

1 cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yg hangat; kabar: semalam dia mendengar—bahwa kampungnya dilanda banjir;

2 laporan: ia bertugas membuat—harian;

3 pemberitahuan; pengumuman: -- redaksi;

Sedangkan berbagai referensi menyebut berita sebagai hasil akhir proses pengumpulan dan pelaporan fakta yang merupakan kegiatan pokok jurnalistik. Wujudnya bisa berupa tulisan, foto, suara atau gambar yang biasa dibaca, didengar dan dilihat khalayak lewat media massa. Baik cetak maupun elektronik. Bisa disimpulkan bahwa fakta hanya menjadi berita setelah dilaporkan, atau dengan kata lain, berita adalah fakta yang dilaporkan.

Kemampuan mencari dan mencatat fakta biasanya dikuasai secara berjenjang. Berbagai formula ditawarkan berbagai institusi jurnalisme untuk penjenjangan itu. Konsep yang terstruktur dan metodis paling awal yang dikenal di Indonesia adalah yang ditawarkan Karya Latihan Wartawan Indonesia yang merumuskannya jenjang paling dini adalah reportase dasar yang biasanya diwujudkan dalam berita langsung (straight news). Jenjang berikutnya reportase madya yang berwujud news feature. Jenjang selanjutnya adalah reportase lanjutan dalam wujud news analysis.

Berita langsung

Dari waktu ke waktu, kalangan jurnalistik memahami penulisan berita langsung senantiasa mengacu pada model piramida terbalik. Mulanya, model penulisan piramida terbalik muncul karena tingginya biaya pengiriman lewat telegram atau telex. Untuk menghemat biaya, pengiriman berita mendadak hanya dilakukan terhadap bagian terpenting dan teraktual saja.

The Associated Press mengembangkan formula piramida terbalik pada akhir abad XIX untuk melayani audience yang waktu baca mereka semakin sempit.

Melalui berita langsung, fakta terpenting ditempatkan pada paragraf pertama. Paragraf-paragraf selanjutnya memuat fakta yang semakin tidak penting. Struktur semacam ini dikenal pula dengan struktur berat di atas atau top heavy.

Dengan struktur yang mengedepankan nilai penting dari rangkaian fakta yang disajikan dalam berita, maka teras/lead/intro berita menjadi bagian terpenting setelah judul. Teras berita langsung selain harus merangkum fakta-fakta terpenting yang hendak disampaikan, juga dituntut mampu menyambut ketertarikan pembaca yang telah tergoda oleh judul yang disusun dengan mencerminkan fakta terpenting.

Unsur layak berita (news value) terkuat disajikan pada teras berita. Aktualitas menjadi unsur penting bagi berita langsung. Suatu peristiwa yang sudah lama terjadi tak bernilai lagi untuk ditulis sebagai berita langsung. Model penyampaian fakta itu membuat berita langsung mudah basi.

Teras berita

Paragraf pertama berita langsung umumnya terdiri atas dua atau tiga kalimat yang tak lebih dari 45 kata. Teras berita yang pendek –asalkan tetap memuat fakta-fakta terpenting berita– dianggap lebih baik. Teras berita harus disusun sedemikian rupa agar mudah dimengerti dan selengkap mungkin memuat unsur kelengkapan berita (5W+1H) dengan urutan prioritas what, who dan when.

Pada perkembangannya, teras berita yang semata-mata mengandung inti pokok berita mulai ditinggalkan. Walaupun tetap mengacu struktur piramida terbalik, teras berita juga dibebani pengelola surat kabar untuk membangkitkan rasa ingin tahu pembaca sehingga menuntaskan membaca hingga akhir tulisan.

Piramida bertumpuk

Belakangan, berkembanglah struktur piramida terbalik. Struktur penulisan ini memungkinkan penulis menyajikan informasi dengan saling berkait dan sambung menyambung sehingga informasi yang disajikan lewat setiap paragraf dapat memiliki kandungan yang hampir sama penting.

Demi memudahkan pembaca dalam memilah informasi yang disampaikan, mulanya digunakan cross head atau sub judul yang terletak di tengah berita. Namun pada perkembangannya, cross head juga difungsikan sebagai pengganjal tampilan halaman. Ketika space masih lowong dua atau tiga baris, maka cross head bisa ditampilkan sebagai pengganjal. Cross head juga kerap ditampilkan saat halaman dianggap kelewat “kering” dengan bentuk paragraf yang menjemukan.

Soft news

Fakta-fakta yang dianggap menarik bisa disajikan dalam wujud soft news atau berita ringan dan disajikan sebagai pelengkap straight news yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai hard news. Soft news biasanya digunakan untuk mengungkap sisi lain fakta penting yang disajikan dalam straight news. Soft news pendamping berita langsung ini bisa ditampilkan dalam rooster dan ditulis dengan struktur piramida terbalik dengan menonjolkan fakta yang dianggap menarik.

Belakangan soft news disusun dengan struktur yang lebih bebas, tak terikat pola piramida terbalik. Dengan pola penyusunan yang bebas, soft news bahkan bisa tampil tanpa straight news.

Feature

Gaya penulisan berita yang tak terikat pola piramida terbalik juga dikenal dengan news feature atau disingkat feature saja. Pada masa sebelumnya, dikenal juga sebagai karangan khas atau berita kisah. Model penulisan ini lazim dimanfaatkan untuk menyajikan laporan pengumpulan fakta yang lebih lengkap daripada fakta yang disajikan dalam straight news ataupun soft news.

Bahan pembuatan feature tak cukup dengan fakta 5W+1H, melainkan juga informasi lebih dalam tentang sosok pelaku, sebab-akibat dan latar belakang kejadian. Sedangkan pada tingkatan lebih tinggi, juga memperhatikan latar belakang (background), tafsiran (interpretation) dan Warna (colour/atmosfer/suasana)

Background, tafsiran dan suasana dibutuhkan agar cerita yang disajikan dalam feature tidak terkesan picik dan datar, namun cukup dalam mengupas permasalahan serta tak membosankan. Demi menyampaikan suasana dengan baik, feature tak tabu memanfaatkan gaya bahasa sastra.

Tafsiran yang disajikan dalam feature bukan berarti memungkinkan penulis leluasa beropini, meskipun sebagian kalangan jurnalis membiarkan subjektivitas mempengaruhi feature mereka.

Tafsiran ataupun suasana dalam feature biasa disampaikan melalui perbandingan fakta dengan sesuatu yang dipahami sebanyak mungkin kalangan pembaca.

Karena tak terikat pola piramida terbalik, teras feature bias tampil lebih bebas dan mendorong Daniel R Williamson merumuskan 10 jenis teras feature dalam bukunya, Feature Writing for Newspaper:

- Teras ikhtisar (summary lead)

- Teras narasi (narrative lead)

- Teras deskripsi (descriptive lead)

- Teras kutipan (quotation lead)

- Teras pertanyaan (question lead)

- Teras pernyataan langsung (direct addres lead)

- Teras Pengusik (teaser lead)

- Teras jenaka (freack lead)

- Teras kombinasi

- Teras untuk feature kering atau serius

Dalam perkembangannya, dari waktu ke waktu, berbagai pemikiran dikemukakan para praktisi jurnalistik melengkapi panduan kerja mereka. Sebagian di antara ialah:

Public opinion polling yang berkembang demi mengemban wacana aliran precision journalism di era 1970-an. Tulisan yang didasarkan pada jajak pendapat menuntut jurnalis menguasai teknik-teknik analisis data statistika. Public opinion polling dianggap lebih mencerminkan pendapat masyarakat dibanding vox pop atau vox populi yang lazim digunakan wartawan untuk menghimpun pendapat publik.

Interpretative news dikembangkan dengan harapan mampu memperluas wawasan pembaca dengan fakta dan data lain di balik fakta dasar yang mendasari penyusunan berita.

Participle reporting, peliputan layaknya riset partisipatif yang dikembangkan para sosiolog diharapkan mampu mengungkap fakta yang lugas tanpa tedeng aling-aling.

Investigative reporting, peliputan yang dilakukan layaknya pengusutan ala detektif pada kasus-kasus yang dianggap sulit diungkap faktanya.

Literary journalism, gaya penyajian berita dengan menggabungkan keterampilan pelaporan interpretatif dengan penulisan fiksi yang semula dikembangkan demi memberikan informasi yang sekaligus menghibur dan mendidik. Jurnalisme sastra lebih dikenal luas sebagai feature di banyak surat kabar, namun belakangan mengemban makna baru dengan gaya penulisan fiksi panjang yang faktual. [] bison

W a w a n c a r a

Pengumpulan fakta melalui wawancara dilakukan jika observasi tak mungkin lagi dilakukan atau sudah dilakukan namun perlu dikonfirmasikan lagi kepada narasumber yang berkompeten. Wawancara bisa dilakukan dengan bertatap muka (face to face) ataupun secara tidak langsung, seperti melalui surat, telepon atau email bahkan SMS telepon seluler.

Pelaksanakan wawancara, bisa diurai sebagai berikut:

  • Persiapan Wawancara
    • Pastikan kesiapan narasumber,
    • Buatlah janji waktu dan tempat wawancara,
    • Penuhi kebutuhan wawasan yang mungkin dibutuhkan dalam wawancara,
    • Maksimalkan penguasaan persoalan yang hendak diwawancarakan,
    • Maksimalkan pengenalan tentang narasumber,
    • Jika sempat susunlah daftar pertanyaan sebagai panduan wawancara,
    • Bawalah peralatan yang memadai
    • Pastikan daftar pertanyaan tak ketinggalan,
    • Pastikan alat pencatat berfungsi baik, jika perlu siapkan alat pencatat cadangan,
    • Bawa pula alat pendukung seperti kamera dan perekam suara terutama jika wawancara dirancang untuk waktu yang panjang.
    • Jangan biarkan narasumber menunggu, jadi pastikan tidak datang terlambat.
  • Pelaksanaan Wawancara
    • Upayakan narasumber bersikap terbuka,
    • Basa-basi tidak tabu untuk mengawali wawancara,
    • Patuhi Kode Etik wartawan Indonesia (KEWI) dengan memastikan bahwa narasumber menyadari bahwa wawancara itu untuk dipublikasikan di media massa, hormati embargo berita dan kesepakatan off the record,
    • Sadari bahwa sikap yang bisa ditafsirkan narasumber sebagai menjilat, sok akrab atau nepotisme bisa menghambat kelancaran atau keterbukaan narasumber,
    • Sebaliknya, pengetahuan yang memadai tentang latar belakang narasumber dan masalah yang bakal ditanyakan bisa membantu lancarnya proses wawancara,
    • Ajukan pertanyaan dengan cerdik,
    • Dengar dan cerna dengan peka setiap jawaban narasumber sehingga pertanyaan berikutnya berkesinambungan dan tak hanya berulang-ulang,
    • Asal sopan, jangan ragu menghentikan paparan narasumber apabila dianggap menyimpang dari topik wawancara,
    • Pedoman wawancara tak boleh menutup kesempatan untuk mengembangkan topik wawacara jika jawaban narasumber anggap penting atau menarik untuk dikembangkan,
    • Sebelum mengakhiri wawancara, jangan lupa memastikan atau melengkapi biodata narasumber.

Sebagai panduan bagi jurnalis, Edward Jay Friedlander, Harry Marsh dan Mike Masterson dalam Excellent in Reporting, 1987, merumuskan tujuh jenis pertanyaan yang biasa diajukan wartawan dalam wawancara:

1. Pertanyaan pembuka

Berfungsi untuk membuka kebekuan bukan untuk mengorek keterangan

“Wah, Bapak rupanya pencinta bunga juga? Bunga apa saja yang Bapak tanam?”

2. Pertanyaan langsung

Diajukan setelah wawancara berkembang langsung ke pokok masalah

“Bagaimana perkembangan realisasi jalan tol, Pak?”

3. Pertanyaan tertutup

Pertanyaan jenis ini mengarah ke interogasi

“Berapa dana APBD yang bakal terserap untuk itu?”

4. Pertanyaan menyelidik

Pertanyaan jenis ini lebih spesifik dari jenis pertanyaan seberlumnya.

“Mengapa tiga kali lipat dari anggaran pendidikan?”

5. Pertanyaan bipolar

Pertanyaan jenis ini ditujukan untuk dijawab “ya” atau “tidak”.

“Apakah anggaran itu jadi diumumkan besok, Pak?”

6. Pertanyaan cermin

Pertanyaan jenis ini untuk menegaskan jawaban narasumber.

“Jadi Bapak menyatakan bahwa Salatiga perlu memprioritaskan sektor perhubungan daripada sektor pendidikan?”

7. Pertanyaan Hipotetif atau Sugestif

Pertanyaan jenis ini bersifat spekulatif di akhir wawancara.

“Apakah Bapak tak pernah mempertimbangkan merealisasikan dulu pemenuhan anggaran 20% bagi sektor pendidikan?”

Kemampuan memilih pertanyaan yang jitu dan mampu menembus kebuntuan wawancara bisa diasah dengan banyak membaca serta rajin mengevaluasi hasil wawancara. Keterampilan jurnalis mengumpulkan dan menyampaikan fakta kepada khalayak tak bisa tidak hanya bisa dicapai dengan terus berlatih. [] bison

O b s e r v a s i

Separuh bagian dari kerja jurnalistik adalah mengumpulkan fakta yang bisa dilakukan dengan observasi dan wawancara. Observasi bisa dilaksanakan wartawan dengan melibatkan diri dalam peristiwa, mengamati langsung peristiwa atau mengutip catatan publik terkait peristiwa yang hendak diberitakan. Sedangkan wawancara hanya dilakukan jika wartawan tidak bisa observasi, untuk menangkap latar belakang fakta mengenai pengalaman, pendapat dan cita-cita orang lain.

Pelaksanakan observasi, bisa diurai sebagai berikut:

  • Persiapan Observasi
    • Jalin jaringan narasumber untuk mendapatkan informasi rencana kegiatan,
    • Penuhi kebutuhan wawasan yang mungkin dibutuhkan dalam observasi,
    • Maksimalkan penguasaan persoalan yang hendak diobservasi,
    • Maksimalkan pengenalan tentang subjek-subjek yang terlibat dalam observasi,
    • Pastikan punya akses ke lokasi,
    • Mintalah izin masuk jika tuan rumah mewajibkan,
    • Kenakan Id card jika tuan rumah menyediakan,
    • Pastikan tidak datang terlambat,
    • Bawalah peralatan yang memadai,
    • Pastikan alat pencatat berfungsi baik, jika perlu siapkan alat pencatat cadangan,
    • Bawa pula alat pendukung seperti kamera dan perekam suara
  • Pelaksanaan Observasi
    • Perhatikan dengan cermat setiap bagian peristiwa yang dialami atau amati,
    • Catatlah hal-hal penting yang mungkin dibutuhkan dalam penyusunan berita,
    • Ingatlah bahwa fakta adalah 5W+1H yang berkesimbangunan berkali-kali,
    • Dialog yang menarik atau penting dari subjek-subjek yang diobservasi,
    • Ingat pula, bahwa melibatkan diri bukan berarti tak objektif!
  • Akhir Observasi
    • Jika dianggap perlu, minta izin atau bikin janji wawancara dengan subjek yang diobservasi,
    • Minta alamat atau nomor telepon objek observasi jika diperlukan,
    • Jika dianggap perlu lanjutkan dengan wawancara, atau setidaknya pastikan waktu dan tempat wawancara,
    • Pamitlah dengan santun demi terjalinnya hubungan baik untuk waktu mendatang. [] bison